Kamis, 19 Mei 2011

PENDIDIKAN ISLAM: ALTERNATIF FILTERISASI GLOBALISASI (Suatu Upaya Membumikan Syari’ah di Aceh)


PENDIDIKAN ISLAM:  ALTERNATIF FILTERISASI GLOBALISASI
(Suatu Upaya Membumikan Syari’ah di Aceh)
Oleh:
Suadi Zainal  dan Yuswardi Syukri Reubee

Abstract
Syari’ah (Islamic law) has formalized about eight years ago in Aceh but do not have a significant impact on the Acehnese’ behavior changes consistent with Islamic values. One of the main obstacles is globalization. Thus we need other alternative in order to implement Islamic law more effective for Acehnese, it is Islamic education. It’s expected can filter globalization. Intended education is not merely in the form of Islamic education institutions, such as pesantren and madrasah today which substance is less Islamic, but Islamic education is education based on Islamic value of the universality. This is realized through the education system reform and review the scope of Islamic studies

.
Keywords: Islamic Education, Islamic Law, and Globalizatio

Pendahuluan
Formalisasi Syari’at Islam  di Aceh hampir mencapai usia delapan tahun,  terhitung 15 Maret 2002 (1 Muharram 1423 H), namun  belum memberikan pengaruh yang signifikan terhadap perubahan kehidupan  masyarakat Aceh, kecuali hanya dalam  tatacara berbusana, banyak wanita yang keluar rumah menutup kepala, tetapi hanya sebagian  kecil dari mereka yang menutup aurat,  penulisan nama kantor/lembaga dengan  huruf  Arab[1]. Kondisi Aceh tidak jauh berbeda dengan era sebelum syari’at Islam diformal-legalkan sebagai hukum resmi daerah. Kesenjangan sosial masih sangat  tinggi, korupsi meraja-lela dari tingkat pejabat hingga tingkat rakyat[2], kolusi dan nepotisme dianggap wajar, perampokan, pemerkosaan dan perzinahan, penyalahguna narkoba dan sabu-sabu  masih sering mengisi berita di media massa. Bahkan ada aknum  Wilayatul Hisbah di Kota Langsa yang terjurumus kepada pemerkosaan terhadap tahanan wanita yang diduka berkhalwat.
Berdasarkan  uraian realita di atas nampaknya cita-cita masyarakat Aceh bernostalgia kepada masa Serambi Mekkah agak sulit diwujudkan melalui formalisasi syari’at, apalagi  bercita-cita menjadikan Aceh sebagai  Madinah al-Fadhillah seperti yang pernah diimpikan al-Farabi, di mana orang –orang tinggal bersama di dalam sebuah kota semuanya hidup bahagia, tidak ada kezhaliman, semua orang hidup berkecukupan dan  berpenghasilan halal, semua orang mempunyai kesadaran untuk bertindak sesuai dengan syari’at, jujur, adil, amanah, optimis, tolong-menolong, dan lain-lain.
Fenomena syari’at Islam di Aceh sebagaimana dideskripsikan di atas tentu sangat berkaitan dengan perkembangan globalisasi yang telah membawa dampak negatif terhadap pengikisan dan pemusnahan  ideologi,  norma-norma, dan nilai sosial budaya masyarakat Aceh yang berkharakteristik islami. Di mana hal ini  pada kejayaannya dijadikan sebagai landasan ideal untuk bertindak dalam segala aspek kehidupan., sehingga muncul kalimat-kalimat yang konstruktif terhadap pembentukan perilaku masyarakat , seperti; “hukum dengon adat lagee zat dengan sipheut”, “gadeoh aneukmeupat jeurat gadeoh adat hana pat mita”. (hukum Islam dengan adat budaya seperti zat dengan sifatnya tak dapat dipisahkan, hilang/mati anak ada kubur tetapi hilang adat tidak tahu mau cari kemana[3].
Ali Hasyimi menjelaskan bahwa makna yang tersirat dalam kalimat tersebut adalah “Islam dan rakyat Aceh ibarat darah dengan daging. Hal itu berlaku dalam segala bidang kehidupan; politik, ekonomi, keuangan, sosial budaya, dan tata susila”. Kemudian kalimat yang kedua menurut Junus Melalatoa “mengisyaratkan bahwa adat merupakan pedoman yang sifatnya abstrak, yang seharusnya tersimpan dalam pikiran anggota masyarakat Aceh”[4]. Selanjutnya pribahasa Aceh memiliki nilai hidup sederhana,  “ngui meulaku tuboh pajoh meulaku harta” berpakain sesuai dengan badan dan makan sesuai dengan harta[5]).
Globalisasi tidak saja berdampak negatif terhadap kehidupan masyarakat, tetapi juga memiliki dampak positif, antaranya yang paling menonjol adalah percepatan memperoleh informasi melalui dunia televisi dan internet. Globalisasi erat kaitannya dengan modernisasi dan sekulerisasi, sehinngga orang “anti Barat” memaknainya westernisasi yang berlebel “Three in One” yang menjadi tantangan besar bagi berlakunya Syari’at Islam di Aceh. Mereka sudah sedang menyusup ke dalam otak masyarakat Aceh, ia menyerang melalui semua aspek kehidupan, budaya, ekonomi, politik dan pendidikan. Saya pastikan tidak ada orang Aceh yang lepas dari pengaruh tiga hal tersebut, sekalipun ulama besar. Namun tentu tidak semua masyarakat Aceh menjadi crisis identity akibat hal tersebut, bahkan mungkin lebih memperjelas dirinya sebagai orang Aceh yang bercitra islami dengan cara memanfaatkan globalisasi, modernisasi dan sekulerisasi.

Globalisasi vs Norma Lokal Aceh
Globalisasi merupakan sebuah gagasan yang banyak diperbincangkan. Secara umum era globalisasi ditandai dengan kemajuan di bidang teknologi komunikasi, transportasi dan informasi yang sedemikian cepat. Kemajuan di bidang ini membuat segala kejadian di negara yang jauh dapat diketahui oleh masyarakat di negara lainnya saat itu juga, sementara jarak tempuh yang sedemikian jauh dapat dijangkau dalam waktu yang singkat sehingga dunia ini menjadi seperti sebuah kampung yang kecil (Ahmed, 1990: 1). Giddens[6] mendefinisikan globalisasi sebagai proses transformsi ruang dan waktu, menghilangkan batas territorial dan meniadakan estimasi waktu, dunia menjadi kecil dan konsep nation state mulai memudar. Globalisasi merombak hidup kita secara besar – besaran. Ia berasal dari Barat, namun bukan berarti sekedar dominasi Barat terhadap yang lain; tetapi juga sebaliknya,[7] namun yang kuat tentunya mendominasi yang lemah. Selanjutnya menurut Huntington[8] globalisai merupakan proses universalisasi peradaban, konsep-konsep moralitas masyarakat di belahan dunia tidak jauh berbeda, tentang apa yang benar dan apa yang salah.
Norma lokal Aceh adalah adat/hukum adat. Adat kemudian diartikan tradisi, bukan kebiasaan (habits). Tradisi merumuskan semacam kebenaran yang menjadi kerangka tindakan individu dan kelompok yang sebagian besarnya tidak dipertanyakan (Giddens, 2001: 39), kecuali oleh orang-orang yang menamakan dirinya modern, mendewakan rasionalitas, bagi mereka tradisi adalah sisi gelap modernitas. Hal-hal yang bersifat tradisional dipandang sebagai masalah/penghambat kemajuan yang mesti dilenyapkan. Semua bersifat tradisional harus digantikan dengan modern jika ingin maju. Standard maju dan tertinggal pun diciptakan sedemikian rupa, yang mengarahkan kita kepada kemajuan yang dicapai oleh Barat. Kemajuan diukur dari pesatnya perkembangan teknologi dan pembangunan industri.
Berbicara adat/tradisi Aceh sebagai norma masyarakat tentu tidak dapat dipisahkan dari nilai-nilai Islam, jadi penghapusan sebagian tradisi hampir bisa dipastikan merupakan pengikisan nilai-nilai Islam itu sendiri, yang pada akhirnya merusak tatanan kehidupan sosial masyarakat Aceh yang sudah mapan. Sebagai contoh yang sangat konkrit adalah konsep demokrasi Barat yang telah menjalar ke gampong-gampong bahkan tingkat keluarga, kebenaran tidak lagi beasaskan Islam tetapi atas mayoritas suara, Beras Miskin (Raskin) dijatahkan bagi orang miskin, namun dibagi juga untuk orang kaya, dengan alasan hasil musyawarah masyarakat. Hal ini sudah dipandang sebagai tindakan benar, walaupun sebenarnya pada orang kaya lah terdapat hak (harta) orang miskin yang diberikan lewat sadakah dan zakat, bukan yang kaya mengambil hak dari orang miskin.
Selain itu, khalwat juga masih sangat fenomenal di Aceh walaupun sudah ada penegak hukum syari’at yang mengawasi hal tersebut. Perilaku khalwat tersebut tentu tidak terlepas dari pengaruh tayangan televisi[9] yang mempertontonkan perilaku seperti itu, yang kemudian dianggap benar oleh kalangan remaja. Pelukan dengan lawan jenis bukan muhrim di atas kendaraan yang melintasi tempat-tempat umum misalnya, dianggap hal yang wajar, mereka tidak merasa malu dan masyarakat yang melihatnya pun tidak berbuat apa-apa, seakan-akan masyarakat menyetujuinya dengan adanya pemahaman tentang Hak Asasi Manusia (HAM) yang dikampayekan oleh Barat. Bahkan sebagian keluarga sudah merasa bangga jika anak gadisnya dikunjungi oleh pemuda dan dibawa jalan-jalan walaupun jika dilihat dari usianya belum memasuki usia pernikahan. Dalam kontek Aceh tempo dulu hal seperti ini menjadi aib bagi keluarga, dan masyarakat lingkungan memberikan kontrol sosial terhadap perilaku seperti ini. Dalam konsep menjaga anak atau genarasi dari perilaku penyimpang, dulu masyarakat Aceh masih berpegang pada motto “anakku juga anakmu”.
Atas dasar realita di atas dapat disimpulkan bahwa globalisasi bagi masyarakat masih banyak membawa dampak negatifnya ketimbang dampak positif. Di era globalisasi Aceh belum bisa mewarnai dunia lain, Aceh masih diwarnai oleh dunia lain. Orang Aceh yang dikenal memiliki mental berani dan pantang menyerah di medan perang belum tangguh untuk berperang budaya, melawan budaya Barat. Dalam hal ini konsep Giddens yang mengatakan globalisasi juga dapat bermakna negara lain dapat mendominasi Barat, belum berlaku di Aceh.
Untuk menghidupkan kembali dan memelihara tradisi Aceh dari ancaman globalisasi yang menghambat revitalisasi syari’at di Aceh perlu dicari jalan alternatif lain, di samping melalui politik (secara srtuktural pemerintah) tetap dimaksimalkan. Salah satunya alternatif adalah melalui pendidikan islam.

Pendidikan Islam
Secara umum pendidikan pada hakekatnya merupakan suatu upaya mewariskan dan menanamkan nilai, yang akan menjadi penolong dan penuntun umat manusia dalam menjalani kehidupan, guna memperbaiki nasib dan peradabannya. Tanpa pendidikan, manusia  tidak berbeda dengan dengan makhluk lainnya di muka bumi, tidak berbeda manusia zaman dulu dengan generasi manusia sekarang. Secra ekstrim  dapat dikatakan, bahwa maju mundurnya atau baik buruknya peradaban suatu masyarakat, suatu bangsa, sangat ditentukan oleh bagaimana pendidikan yang diterapkan pada masyarakat dan bangsa tersebut.
Dalam Islam, secara bahasa pendidikan dikenal dengan kata “tarbiyah”, yang berasal dari bahasa Arab, kata kerjanya “rabba” yang mendidik. Kata yang sering melekat dengan tarbiyah adalah “ta’lim”, yang bermakna pengajaran. Sehingga dalam lembaga dikenal istilah Tarbiyah wa Ta’lim. Pendidikan Islam dalam bahasa Arab disebut Tarbiyah Islamiyah[10]. Sedangkan menurut istilah Pendidikan Islam adalah sebuah proses yang dilakukan untuk menciptakan manusia-manusia yang seutuhnya; beriman dan bertaqwa serta mampu mewujudkan eksistensinya sebagai khalifah Allah  di muka bumi, yang berdasarkan ajaran al-Qur’an dan al-Sunnah. Selanjutnya menurut Arifin[11] bahwa pendidikan Islam berupaya untuk mengembangkan semua aspek kehidupan manusia yang meliputi spritual, intelektual, imajinasi, keilmiyahan; baik individu maupun kelompok, dan memberi dorongan bagi dinamika aspek-aspek tersebut menuju kebaikan dan pencapaian kesempurnaan hidup baik dalam hubungannya dengan al-Khaliq, sesama manusia, maupun dengan alam.
Pendidikan Islam memiliki azas long life education, artinya ilmu dituntut sejak dari ayunan sampai ke liang kubur, sebagaimana dipesankan oleh nabi “Uthlubul ‘ilmi minal mahdi ilallahdi”, dan inklusif, tanpa dibatasi pada ilmu aqidah saja tetapi juga ilmu umum lainnya yang bersifat duniawi. Hal ini dapat dimaknai dari hadis nabi “Uthlubil ‘ilmi walau bisshiin” (tuntutlah ilmu walau ke negeri cina). Sebagaimana juga disampaikan Syafii Ma’arif, bahwa pada masa nabi pendidikan Islam pada awalnya lebih tertuju pada pemberdayaan aqidah. Nabi mengupayakan menempatkan pendidikan sebagai aspek yang sangat penting, dengan menggalakkan umat melalui wahyu agar mencari ilmu sebanyak-banyaknya, dan setinggi-tingginya. Masjid-masjid, pada periode awal kenabian dijadikan sebagai pusat pengembangan ilmu dan pendidikan, sekalipun masih mengkhususkan pada menghafal al-Qur’an, belajar hadis, dan sirah Nabi. Sementara disiplin-disiplin lain seperti filsafat, ilmu kimia, matematika, dan astrologi kemudian juga berkembang, namun tidak dimasukkan dalam kurikulum formal. Semua disiplin ini diajarkan atas dasar kesadaran orang tua untuk mencarikan guru demi kemajuan anaknya.[12] Inti kurikulum madrasah hanya terpusat pada al-Qur’an, hadis, fiqh, dan Bahasa Arab. Sementara ilmu lainnya seperti filsafat, kimia, astronomi, dan matematika, dipelajari secara individual dan dalam lingkungan yang terbatas. Bahkan disiplin-disiplin ini ditempatkan di bawah payung disiplin lain seperti ilmu perobatan.
Berdasarkan uraian singkat di atas, dapat dipahami bahwa fungsi dan tujuan pendidikan Islam tidak sekedar menciptakan manusia untuk berdaya dalam mengarungi kehidupan yang berkecukupan materil. sebagaimana fungsi pendidikan pada umumnya. Fungsi dan tujuan pendidikan Islam harus memberdayakan atau berusaha menolong manusia untuk mencapai kebahagian dunia dan akhirat. Oleh karenanya, maka konsep dasarnya bertujuan untuk melahirkan manusia-manusia yang bermutu yang akan mengelola dan memanfaatkan bumi ini dengan ilmu pengetahuan untuk kebahagiannya, yang dilandasai pada konsep spritual untuk mencapai kebahagian akhiratnya.



Pendidikan Islam di Aceh Dewasa ini
Salah satu keistimewaan yang dimiliki Aceh adalah keistimewaan dalam bidang pendidikan. Secara yuridis pemerintah pusat telah memberikan hak istimewa tersebut kepada Aceh melalui Undang-Undang No. 18 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Daerah istimewa Aceh sebagai provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Belum cukup dengan itu pemerintah pusat kembali mempertegaskan lagi dengan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA). Dalam kedua undang-undang tersebut Aceh dinyatakan mendapat hak istimewa di bidang pendidikan.
Dalam UUPA pasal 215 ayat 1 disebutkan “Pendidikan yang diselenggarakan di Aceh merupakan satu kesatuan dengan sistem pendidikan nasional yang disesuaikan dengan karakteristik, potensi, dan kebutuhan masyarakat setempat”. Hal ini bermakna Aceh memungkinkan mengembangkan pendidikan formal sesuai dengan nilai-nilai religius dan sosiokultural masyarakatnya, sehingga pendidikan di Aceh mencapai tujuannya sesuai dengan tuntutan dari pendidikan Islam. Yang perlu dipikirkan adalah bagaimana bentuk dan strategi pelaksanaanya agar tidak terbentur dengan sistem pendidikan nasional.
Namun demikian sangat disayangkan peluang yuridis tersebut nampaknya belum dimanfaatkan oleh Pemerintah Aceh dalam mengelola pendidikan yang berfungsi sesuai dengan tuntutan Islam. Pelaksanan pendidikan di Aceh hingga saat ini masih sama dengan daerah lainnya di Indonesia. Pemahaman dikotomis antara pendidikan agama dan umum masih sangat kentara, konfigurasinya hanya memasukkan mata pelajaran agama pada pendidikan umum dan memasukkan mata pelajaran umum pada pendidikan agama. Kondisi ini tentu nilai-nilai agama belum mampu dilekatkan pada setiap mata pelajaran umum, sehingga orang pintar tidak ada jaminan tinggi akhlaknya, karena ilmu yang dia miliki tidak membawanya lebih dekat dengan Allah.
Maka jangan terkejut melihat perilaku masyarakat, baik muda maupun tua yang menyimpang dari agama, walaupun mereka sudah mendapat pendidikan karena biayanya murah, bahkan digratiskan. Bahkan sebagiannya tambah tinggi pendidikan bertambah sekuler pula pemikirannya, sehingga memandang agama hanya mengatur masalah individu denga Tuhannya, maka iapun shalat rajin, tetapi korupsi, kolusi, dan nepotisme pun tekun, pergaulan bebas, perzinahan dianggap wajar karena hanya interaksi  manusia dengan manusia untuk memenuhi kebutuhan biologisnya.
Untuk itu pelaksanaan pendidikan Islam yang memungkinkan pencapaian cita-cita Islam perlu dipikirkan kembali, pendidikan Islam yang selama ini dijalankan perlu didesain ulang. Pihak yang berwenang dan berkompenten perlu didesak untuk melakukan inovasi dan reformasi, tidak hanya yang bersangkutan dengan kurikulum dan perangkat manajemen, tetapi juga strategi, model dan taktik operasionalnya. Dengan demikian institusi-institusi pendidikan, baik formal maupun non formal lebih efektif dan efisien dalam proses islamisasi pendidikan di Aceh, sehingga memiliki nilai paedagogis, sosiologis dan kultural yang islami, yang kemudian menunjukkan perannya membina ummat manusia untuk memperoleh kebahagian dunia dan akhirat sesuai dengan tuntutan Islam, “Rabbana atina fiddunya hasanah wa filakhirati hasanah”.

Pendidikan Islam untuk Revitalisasi Syari’at Islam
Revitalisasi syari’at Islam di Aceh merupakan impian mayoritas masyarakat Aceh yang sudah lama tak kunjung nyata, sejak zaman penjajahan hingga zaman pencerahan, bahkan hingga sekarang ini yang dikenal dengan zaman damai oleh masyarakat Aceh. Jika pendidikan Islam mencapai tujuannya sebenarnya penerapan syari’at Islam tidak perlu diperdebatkan, karena syari’at sudah ada dalam setiap orang Aceh. Untuk mencapai tujuannya perlu dilakukan reformasi terhadap sistem pendidikan yang sesuai dengan nilai-nilai Islam. Berbicara sistem pendidikan berarti menyangkut dengan berbagai macam elemen yang berkaitan dengan pendidikan. Menurut Marimba elemen-elemen pendidikan adalah tujuan pendidikan, peserta didik, pendidik, alat/fasilitas pendidikan, dan lingkungan pendidikan.[13]
  1. Tujuan, tujuan pendidikan Islam adalah membentuk insan kamil, yang dalam pendidikan nasional diperjelaskan melalui Pasal 3 UU No. 20/2003 tentang Sisdiknas , pendidikan nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Menurut Ali Aljumbulati[14] pendidikan Islam memiliki dua tujuan, yaitu keagamaan dan keduniaan.  Tujuan keagamaan adalah mempertemukan diri pribadi dengan Tuhannya melalui kitab-kitab suci yang menjelaskan tentang hak dan kewajiban, sunnat dan yang fardhu bagi yang mukallaf. Sementara tujuan keduniaan ialah mempersiapkan anak didik menghadapi kehidupan masa depan dengan mengarahkan kepada pekerjaan yang berguna (pragmatis).
  2. Peserta didik, peserta didik merupakan individu yang memiliki potensi, sedang berkembang, butuh bimbingan dan berkemampuan untuk mandiri. Setiap peserta didik tentu memiliki potensi yang berbeda dengan yang lainnya, sehingga perlakuaan bimbingan pun tidak boleh disamaratakan. Kadang perlu perlakuan khusus terhadap anak didik tertentu. Dengan demikian tidak ada anak didik yang terbelakang setelah menerima pendidikan. Peserta didik dijadikan sebagai subyek pendidikan dan diperlakukan secara manusiawi.
  3. Pendidik, pendidik adalah orang yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan pendidikan dengan sasaran peserta didik. Pendidik harus berkepribadian mulia, taqwa, dan beriman kepada Allah. Pendidik tidak hanya mengajarkan ilmunya kepada anak didik, tetapi juga bertanggung jawab untuk memberi petunjuk kepada peserta didik dalam meniti kehidupan dengan membekalinya  etika dan akhlak yang mulia[15]. Untuk itu pendidik direkrut secara selektif dengan mempertimbangkan kemampuan dan sifat-sifat mulia yang dimilikinya. Dengan demikian, pendidik tidak bisa direkrut hanya melalui ujian tulis melainkan juga perlu dilakukan interview bahkan jika memungkinkan perlu diselidiki asal-usulnya. 
4.      Alat pendidikan, alat pendidikan adalah usaha–usaha atau perbuatan–perbuatan sipendidik yang ditujukan untuk melaksanakan tugas mendidik.[16] Dalam hal ini, alat pendidikan harus searah dengan al Quran dan sunnah.
5.      Linkungan pendidikan, lingkungan pendidikan adalah tempat belansungnya pendidikan yang meliputi keluarga, sekolah, dan masyarakat. Dengan demikia, pembentukan kepribadian anak bukan saja tanggung jawab lembaga pendidikan tetapi keluarga dan masyarakat lingkungan turut bertanggujwab terhadap anak. Mengingat pendidikan utama adalah kelurga maka untuk mencapai tujuan pendidikan islam, kehidupan keluarga harus berkarakteristik islami, karena anggota keluarga merupakan panutan awal bagi sianak. Begitu juga halnya dengan lingkungan masyrakat, pemerintah bertanggung jawab untuk menciptakan masyarakat yang islami, karena sianak ketika meranjak dewasa lebih banyak berinteraksi dengan lingkungan masyarakat ketimbang keluarga dan sekolah. Dengan demikian pengaruh lingkungan masyarakat  dominan mempengaruhi pembetukan kepribadian sianak.
Untuk mendukung tercapainya tujuan pendidikan tersebut, maka penyelenggaraan pendidikan Islam di sekolah mestinya bukan sekadar transfer of knowledge atau to change mental attitude, akan tetapi lebih diarahkan pada cita-cita ideal keislaman sebagai rahmat bagi seluruh alam (rahmatan lil alamin) untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akherat, sesuai dengan tuntutan Al-Quran dan Sunnah Nabi Muhammad SAW.
Selain pembenahan system pendidikan sebagaimana diutarakan di atas perlu disepakati ruang lingkup studi islam atau obyek pengkajian ilmu-ilmu keislaman, yang selama ini adanya klasifikasi ilmu agama dan umum. Menurut Iman Suprayogo[17] studi islam harus dibangun berdasarkan universalitas ajaran islam yang digambarkan sebagai sebuah pohon yang kokoh akarnya dan rindang. Akar yang kokoh adalah bahasa Arab, logika dan filsafat, ilmu alam dan sosial. Batangnya adalah ilmu-ilmu yang terkait dan bersumber langsung dari al Quran dan hadis. Sementara dahan dan ranting adalam ilmu modern seperti kedokteran, psikologi, sosiologi, ekonomi, politik, dan lain sebagainya. Dengan demikian, keilmuan tersebut dapat difahami secara utuh dan adanya integrasi ilmu agama dan umum, sehingga tidak terjadi dikotomi.


Penutup
Berdasrkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa alternative untuk memfilter dampak negative dari globalisasi dalam upaya menerapkan syriat Islam bagi masyarakat Aceh yang lebih efektif adalah melalui pendidikan islam . pendidikan islam yang dimaksud bukan sekedar  pendidikan Islam dalam bentuk lembaga, seperti pesantren dan madrasah dewasa ini, yang substansinya kurang islmai, tetapi pendidikan yang berazaskan nilai universalitas keislaman yang  dapat menghilangkan dikotomi keilmuan.
Hal ini, dapat diwujudkan melalui pendidikan Islam dan peninjauan kembali ruang lingkup studi  keislaman.  Untuk itu, diharapkan kepada pihak berwenang seperti pemerintah melaulaui majelis pendidikan daerah dan dinas pendidikan, pemimpin dayah serta ilmuan diperguruan tinggi agar bermusyawarh untuk menyatukan persepsi dalammelakukan reformasi pendidikan Islam guna mendukung  pelaksanaan syariat islam secara menyeluru. 









DAFTAR PUSTAKA



Melalatoa, Junus, ddk, Aceh Kembali ke Masa Depan, Jakarta: IKJ Press, 2005

Giddens, Anthony, Beyond Left and Right; Tarian Ideologi Alternatif di atas Pusara Sosialisme dan Kapitalisme, Yogjakarta: IRCISoD, 2003
Giddens, Anthony, Runway World; Bagaimana Globalisasi Merombak kehidupan Kita, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2001
Huntington, Samuel P., Benturan Antar Peradaban, Yogjakarta: Qalam, 2002

Darajat, Zakiah, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 2004

Arifin, Kapita Selekta Pendidikan, Jakarta: Bina Aksara, 1999

Ma’arif, Syafii,  Keutuhan dan Kebersamaan dalam Pengelolaan Pendidikan Sebagai Wawasan Pendidikan Muhammadiyah, Makalah pada Rakernas Pendidikan Muhammadiyah di Pondok Gede, Jakarta, 1996

Hasbullah, Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan, Jakarta: PT. Grafindo Persada, 2003

Al jumbulati, Ali, Perbandingan Pendidikan Islam Jakarta: PT Renika Cipta, 1994

Muhammad Fahmi, Etika Pendidik dalam Pendidikan Islam Telaah atas pemikiran Al-Gazali, http://hidayah/ilayya.blogspot.com/2009

Purwanto, M. Ngalim, Ilmu Pendidikan Teoretis dan Praktis, Bandung: Remaja RosdaKarya, 2007

Suprayogo, Imam, Tarbiyah Ulil al Bab: Dzikir, Fikr, dan Amal Shaleh, Malang: UIN, 2004



[1] Huruf Arab bukan Bahasa Arab, di kalangan masyarakat Aceh dikenal dengan bahasa Arab Jawi, yang jika dilihat orang Arab dia tidak bisa membaca dan tidak tahu arti.

[2] Banyak bantuan yang diberikan kepada rakyat tidak dimanfaatkan sesuai ketentuan, beras untuk orang miskin dibagi sama rata  antara orang miskin dengan yang kaya atas dasar musyawarah bersama, bantuan dana produktif bergulir tidak dikembalikan, orang yang tidak berhak mendapat bantuan berupaya mempengaruhi pihak donator untuk mendapat bantuan sehingga orang yang berhak menerima trsingkirkan.
[3] Kalimat ini memiliki makna yang dalam, dalam menegakkan adat (nilai dan norma-morma) yang berlaku  tidak pilih kasih, jika anak sendiri yang melanggar maka harus dihukum walaupun hukumannya mati, seperti yang dilakukan oleh Raja Iskandar Muda terhadap anaknya yang melakukan perzinahan, beliau menyiram timah kedalam kerongkongan anaknnya hingga dia mati.

[4] Junus Melalatoa, ddk, Aceh Kembali ke Masa Depan (Jakarta: IKJ Press, 2005), h. 31

[5] Kalimat ini bermakna agar masyarakat berperfomen tidak berlebihan, disesuaikan dengan kemampuan material yang dimiliki dan tidak perlu iri terhadap orang lain.
[6] Giddens, Anthony, Beyond Left and Right; Tarian Ideologi Alternatif di atas Pusara Sosialisme dan Kapitalisme, (Yogjakarta: IRCISoD, 2003), h. 18
[7]Anthony Giddens, Runway World; Bagaimana Globalisasi Merombak kehidupan Kita, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2001), h. xvi
[8]Samuel P. Huntington, Benturan Antar Peradaban, (Yogjakarta: Qalam, 2002), h. 75

[9] Televisi bagi anak-anak dan remaja dewasa ini merupakan main class, sementara pendidikan di sekolah mejadi second class, artinya penddikan televisi lebih melekat dalam dirinya ketimbang pendidikan sekolah. Pendidikan sekolah tentu membosannkan bagi anak-anak, sedangkan pendidikan televisi merupakan hal yang menyenangkan.
[10] Zakiah Darajat, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 2004), h. 25

[11] Arifin, Kapita Selekta Pendidikan, (Jakarta: Bina Aksara, 1999), h. 15
[12]Syafii Ma’arif,  Keutuhan dan Kebersamaan dalam Pengelolaan Pendidikan Sebagai Wawasan Pendidikan Muhammadiyah, (Makalah pada Rakernas Pendidikan Muhammadiyah di Pondok Gede, Jakarta, 1996), h. 2
[13] Hasbullah, Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan, (Jakarta: PT. Grafindo Persada, 2003), h. 123

[14] Ali Al jumbulati, Perbandingan Pendidikan Islam (Jakarta: PT Renika Cipta, 1994), h. 37-38

[15] Muhammad Fahmi, Etika Pendidik dalam Pendidikan Islam (Telaah atas pemikiran Al-Gazali), (http://hidayah/ilayya.blogspot.com/2009)

[16] M.Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoretis dan Praktis, (Bandung: Remaja RosdaKarya, 2007), h.176

[17] Imam Suprayogo, Tarbiyah Ulil al Bab: Dzikir, Fikr, dan Amal Shaleh, (Malang: UIN, 2004), h. 14

2 komentar: