Sabtu, 28 Mei 2011

MASLAHAH & SISTEM DISTRIBUSI MODAL ALTERNATIF DALAM TEORI SYAHRUR

 
MASLAHAH & SISTEM DISTRIBUSI MODAL ALTERNATIF DALAM TEORI SYAHRUR
Oleh Iskandar Ibrahim Beurleung

MUQADDIMAH
Suatu keniscayaan bahwa pembahasan hukum Islam kontemporer berlandaskan kepada kemaslahatan. Konsep kemaslahatan ini menajadi sangat penting manakala persoalan sekarang dirasa tidak lagi mampu diakomodir oleh fiqh lama (klasik). Banyak persoalan sekarang tidak lagi memiliki rujukan mentah dalam kitab fiqh kalsik sehingga membutuhkan ijtihad baru. Ijtihat barupun bukan tidak mendapatkan masalah. Selalu saja ijtihad itu berbenturan dengan motode yang selama ini dipakai. Ushu fiqh misalnya juga sudah tidak lagi mampu memberi solusi yang memadai. Sehingga dirasa perlu untuk merekonstruksi ulang atau setidaknya penyempurnaan pada bagian-bagian yang sudah “udzur”.
Mashadir al-syariyah (ortodoksi) klasik yang terdiri dari al-Qur’an, Hadith, Ijmak dan Qiyas dan seterusnya dirasa tidak lagi “membumi” dalam pembinaan hukum islam. Permasalahannya bukan saja pada urutan item-item ortodoksi itu akan tetapi juga keberadaan beberapa landasan tersebut harus dilihat dari perpektif lain. Nyaris semua item itu mulai dipertanyakan hatta interpretasi al-qur’an; scolastik, hermeneuetik dan lain sebagainya. Pembacaan Abu Zayd dengan pendekatan languistic history yang kemudian berdimensi pada teks qur’an sebagai konteksnya yang saling berkaitan antara parsial (juz’i), universal (kulli) dan realitas social-histors. Fazhlurrahman dengan teori Double Movement, Arkon, ‘Abid al-Jabiry masing-masing dengan pembacaan teks yang berkaitan dengan konteks dan juga hermenuetika al-qur’an. Hingga terakhir Syahrur dengan penolakan terhadap sinonimitas bahasa Arab sehingga teks al-qur’an benar-benar bebas dari konteksnya, merupakan bentuk-bentuk “penjamahan” wilayah inti ortodoksi.
Sebetulnya, problematika sekitar Mashadir l-Syar’iyah dapat ditelusuri sejak awal kelahirannya. al-Qiyas misalnya, sejak awal telah dipertentangkan mengenai keikutsertaanya dalam deretan ortodoksi itu kecuali imam Syafi’e – yang memperkenalkan metode qias sebagai sumber hukum. Selain imam empat, Al-Ghazali misalnya dalam al-Mustasfa tidak menyebutkan Qiyas bebagai mashadir syar’iyah utama (Al-Ghazali, al-Mustasfa: 1998. 438). Selain itu yang lebih spektakuler adalah at-Tufi. Ia menawarkan mashadir itu terdiri dari Nash, ijmak dan Maslahah. Tiga konsep inilah yang dapat menjadi istrumen dalam menggali hukum yang sah. Dan lagi, apabila nash bertentangan dengan maslahah maka dahulukan maslahah (al-Aslu Kully). Sementara apabila paradoks antara nash dan ijmak berlaku takhsis auw tabayyin. Dalam hal ini lagi-lagi yang paling dekat dengan maslahat itulah yang didahulukan.

Konsekwensi dari pemahaman di atas, bahwa istilah qath’I yang selama ini kita kenal dalam ushul fiqh harus ditinjau kembali. Qath’I dalam pemahaman ushul selama ini kita definisikan sebgai sesuatu yang “pasti” tidak dapat diubah-ubah lagi oleh ijtihat, sementara dzanni sesuatu yang tidak “pasti” karenanya dapat dijamah oleh ijtihat. Karena itu selama ini Fiqh menyimpulkan bahwa yang qith’I adalah apa-apa (hukum) yang sarih dan meyakinkan ditunjuk oleh hash (al-qur’an dan al-hadith). Sedangkan dzanni apa-apa (hukum) yang karinah nasnya kurang sarih, ambigu dan mengandung pengertian yang berbeda-beda. Tetapi sebetulnya yang qath’I, tidak “berubah-ubah” dan bersifat “pasti” adalah nilai-nilai malkiyahnya (maslahat dan keadilan) itu sendiri.

Lantas bagaimana kemaslahatan ini dimaknakan. Jumhur ulama menjelaskan lebih lanjut bahwa kemaslahatan itu dibingkai dalam maqashidu al-Syar’iyah atau maqashid al-khamsah. al-Syatiby (w 790/1388) dan juga yang lain menguraikannya menjadi Hifz ad-Din, Hifz Nafs, Hifz ‘aql, Hifz nashb, Hifz mall. Penjabaran selanjutnya oleh ulama ushul tidak terkecuali al-Ghazali mencerminkan skala prioritas pada masing-masingnya. Skala prioritas dimaksud adalah Pertama, Dharuriyyat. Kedua, al-Hajjiat. Ketiga, Tahshiniyyah. Imam Haramen (syafi’iyyah) dan al-Juwaini gurunya Imam al-Ghazali mengistilahkan dengan Pertama, Dharuriyah. Kedua, al-Hajah al-‘ammah, Ketiga, makramah.

Kerena itu semangat kemaslahatan sebagai tujuan hukm mesti ada. Hanya saja prioritas dan wilayah yang kadang-kadang berbeda satu sama lain. Tidak terkecuali Syahrur juga berangkat dari konsep maslahat. Asumsi-asumsi dasar Syahrur dapat ditemukan ketika ia membangun tiorinya yang penuh dengan premis-premis kulliyah. Beberapa pertanyaan mendasar dapat kita telusuri dalam Prinsip-Prinsip Dasar Hermenuetika Al-Qur’an Kontemporer karya Syahrur, bahwa “jika Islam bersifat relevan pada setiap ruang dan waktu, maka harus dipahami al-kitab juga diturunkan pada kita yang hidup pada abad ke dua puluh ini, seolah-olah Nabi Muhammad baru saja wafat setelah menyampaika wahyu al-qur’an kepada kita”. Karena itu pembacaan terhadap al-kitap harus dalam perpektif nalar zaman abad ke dua puluh sekarang”. Dalam komentar ini jelas sekali mengandung muatan maslahat.
Setelah kita jajaki bagaimana konsep maslahat diikutsertakan dalam menetas hukum yang berkeadilan, selanjutnya konsep ini akan kita telusuri sampai pada penjelaskan spesifik masalah pendistribusian modal. Secara umum banyak hal yang dapat dijelaskan dengan pendekatan Syahrur. Tetapi dalam kerangka operasionalnya tetap memerlukan wilayah yang lebih specific dan teori lain sebagai alat analisis. Tidak mungkin kita menemukan maslahat sebelum dianalisis dengan metode yang sesuai.

Tulisan ini akan menjelaskan bagaimana maslahah dan pendistribusian modal dioperasionalkan dalam teori batas (had) Syahrur terhadap al-qur’an dan juga isu kontemporer lainnya. Artinya, di sini penulis mengajak kita semua bersama-sama dengan Syahrur mendekati teks dan realitas ekonomi melalui perpektif teori limitnya.


KERANGKA OPERASIONAL TEORI SYAHRUR
Seperti yang telah disingung sebelumnya bahwa Syahrur tidak menganut sinonimisis dalam bahasa Arab. Menurutnya setiap ungkapan dalam bahasa Arab memiliki makna yang independen. Tidak ada kontektualisasi baik bagi teks, penerimaanya maupun penyusunanya. Dengan kata lain al-Qur’an adalah sebuah teks tanpa konteks apapun. Ia adalah teks yang bediri sendiri tanpa ada keterkaitan dengan sejarah ataupun masyarakat yang menjadi tujuan pewahyuan itu. Baginya konteks terpenting dalam memahami al-qur’an adalah konteks politik dan intelektual yang menjadi ruang hidup ummat (Muhammad Syahrur, Prinsi: 2004. 13).
Lebih jauh ia menjelaskan bahwa Nabi hanya sebagai penerima dan ia tidak memiliki peran selain meneriman dan menyampaikan. Perannya hanya sebatas pada cara yang dijalaninya dalam kehidupan sebagai contoh pertama (the first mirror) dari beragam variasi perwujudan al-qur’an. Karena itu dilihat dari pendekatan linguistiknya rumusan independensi teks ini terdapat perbedaan-perbedaan mendasar antara beberapa ungkapan kunci dalam diskursusnya seperti pembedaan antara al-Qur’a, dan umul-kitab. Kenabian dan kerasulan serta al-inzal dan al-tanzil. Sedangkan konsep istiqamah dan hanifiah sebagai wilayah pemberlakuan (elastisitas) hukum. Konsep Istiqamah dan Hanifiah ini nanti akan melahirkan theory limit. Selain itu penulis melihat pikiran Syahrur juga dipengaruhi filsafat alamiah, dasar-dasar ilmu alam dan humaniora selain pendekatan linguistic.
a.      Al-Kitab dan Al-Qur’an, Kenabian (Nubuwwah) dan Kerasulan (al-Risalah)
Syahrur berpendapat bahwa al-qur’an tidak  mencakup keseluruhan al-kitab, tetapi hanya mencakup dimensi kenabian (nubuwwah). Syariah (hukum Islam) adalah termasuk dimensi kerisalahan, yang disebut sebagai umm al-kitab (induk al-kitab). Ayat–ayat umm al-kitab mencakup tema-tema tentang batas-batas hukum Tuhan (hudud), ibadah ritual, pilar-pilar moral berupa wasiat-wasiat, ajaran-ajaran (ta’limat) dan ayat-ayat bersifat local temporal. Al-qur’an dan umm al-kitab, kenabian dan kerisalahan tercakup dalam istilah al-kitab ini. Mengenai kandungan al-kitab terhadap dua model ayat; mutasyabihat yang bersifat figuratif dan alegoris juga muhkamat sebagai ayat-ayat ketetapan hukum. Bagian terakhir ini Syahrur memiliki kesimpulan seperti yang lain.

Perbedaan antara al-kitab dan al-qur’an sejajar dengan perbedaan konsep Nubuwwah (kenabian) dan al-Risalah  (kerasulan). Yang pertama menunjukkan perbedaan antara realitas dan khayalan atau ilusi, sedangkan yang kedua berisi hukum dan aturan tingkah laku. Dengan kata lain yang pertama bersifat objektif dan independen sementara yang kedua bersifat subjektif dan tergantung pada pengetahuan namusia.
Pesan-pesan yang terkandung dalam misi kenabian (nubuwwah) adalah pesan-pesan moral: keadilan, egaliter, kemerdekaan dan sebagainya (Kulliyah) sementara dalam misi kerasulan (al-Risalah) mengandung model penerapan pada kali pertama tentang hukum-hukum Allah pada masyarakat Arab. Penerapan Pesan-pesan juz’I ini merupakan variasi kali pertama yang dicontohkan Rasul.
Bagi Syahrur penafsiran dan ijtihat merupakan hal yang berbeda. Penafsiran meliputi perubahan makna dari teks ambigu hingga bisa memunculkan dua persepsi atau lebih dari satu kata yang sama. Sementara ijtihad adalah proses dimana bahasa hukum dipergunakan untuk menghasilkan hukum tertentu yang sesuai dengan waktu dan tempat tertentu pula.
b.      Al-Inzal dan Al-Tanzil
Penjelasan tetang perbedaan al-inzal dan al-tanzil sangat penting dalam usaha pemahaman terhadap al-Kitab secara keseluruhan. Proses ini sangat berkaitan dengan pemahaman konsep Nubuwwah dan al-Risalah sebagai bahagian masing-masing yang memilik misi barbeda.

Firman Allah dalam surat al-Hadit ayat: 25 dan juga dalam QS. al-A’raf: 26: “ya bani adama qad anzalna alaikum libasan yuwarisauatikum wa-risyan…” .Dalam ayat ini Allah menginformasikan kepada kita bahwa proses al- Inzal “besi” dan “pakaian” kepada manusia sudah telah berlangsung sempurna. Selain itu Allah juga berfirman tentang al-inzal al-Qur’an “inna nazzalnahu qur’anan ‘arabiyan (yusuf: 2). Dalam ayat yang lain Allah berfirman inna nazzalnahu fi lailah al-qadar (QS. al-Qurdr: 1) pertanyaanya adalah bagaimana cara memahami inzal besi dan al-Qur’an.

Terkait dengan konsep al-Tanzil, Allah berfirman “inna nahnu nazzalna ‘alaika al-Qur’anan tanzila (QS. al-Insan: 23) dan firman “tanzil al-kitabi minallahi al-‘azizi al-hakim (QS. al-Jasiyah: 2) dalam surat QS. al-Fusilat ayat: 2 kita mendapatkan redaksi “tanzil min al-rahmah al-rahim” radaksi yang serupa juga kita temukan dalam QS. al-Wakia’ah: 80 “tanzil min rabb al-‘alamin”. Selain itu Rasul telah menjelaskan dalam hadistnya tentang proses turunnya al-qur’an. Beliau bersabda “unzila qur’ana jumlatan wahidatan ila al-sama’I al-dunya fii lailah al-qadr tsumma nazala ba’da dzalika fii isyrina sanatan” (HR. Ibn ‘Abbas). Menurut Syahrur hadith ini termasuk dalam hadith metafisika, tentang keghaiban karenanya tidak boleh dipahami secara letterlijk, melainkan harus memahaminya dengan rasional dan sesuai dengan akal dan realita. Jika dipahami secara literlijk maka kita akan dihadapkan kepada pertayaan selanjutnya. Seandainya al-qur’an diturunkan ke langit dunia dan apakah proses al-inzal besi dan pakaian itu juga diturunkan sama dengan proses al-qur’an?

Al-inzal adalah perpindahan objek dari wilayah yang tidak dapat diketahui menuju wilayah yang dapat diketahui. Al-Qur’an , pada awalnya berada pada wilayah yang tidak dapat diketahui ‘tidak ditampakkan’ (al-Tanzil sebelum proses al-Inzal). Sa’at itu al-qur’an beruwujud primordial objektif yang berada di luar kesadaran mamnusia. Kemudian dipindahkan menuju wilayah yang dapat diketahui yaitu ke dalam bahasa Arab dari Allah (al-Tanzil). Proses ja’j dan al-Inzal ke dalam bahasa Arab yang dapat dipahami berlangsung sekaligus secara keseluruhan dalam satu kesempatan. Peristiwa itu terjadi pada malam al-qadr. Proses al-Tanzil selanjutnya (kedua) setelah al-inzal sekaligus pada lailah al-qadar adalah oleh Jibril kepada Muhammad. Proses al-tanzil ini juga terjadi diluar kesadaran manusia. Setelah pesan-pesan itu berbentuk dalam lafadz-lafadz Arab dengan lidah Muhammadlah baru dipahami.

Karena itu al-qur’an tidak terkait dengan sejarah sa’at titurunkan kepada Muhammad. Turunnya al-qur’an tidak terikat dengan asbab al-nuzul. Meskipun tidak ada asbab tetap saja al-qur’an (al-inzal) itu diturunkan, diminta atau tidak.
c.       Dua Konsep yang Bertentangan (Mustaqim dan Hanifiah)
Agar mengetahui pesan hukum dalam perpektif Syahrur perlu digambarkan perbedaan mendasar antara dua konsep yang bertentangan tetapi saling melengkapi. Hubungan dialektis kedua konsep itu dapat dijumpai dalam kitab yaitu dengan ungkapan “Istiqamah” (strangest) dan “Hanifiyah” (culvature). Setelah diperhatikan penggunaan kata-kata tersebut dalam al-Qur’an Syahrur menyimpulkan bahwa arti Hanifiyah adalah “penyimpangan” dari jalan yang lurus atau dari kelurusan. Lawan dari Hanifiyah adalah Istiqamah yang menjadi sifat dari “kelurusan”, mengikuti jalan yang lurus.

Istilah ini paling tidak untuk mengambarkan pola hubungan yang saling melengkapi dalam al-risalah. Kelengkungan (hanifiyah) merupakan sifat dasar alam. Benda-benda di alam ini tidak ada yang bergerak mengikuti pola lurus akan tetapi cenderung mengikuti garis lengkung. Dalam ilmu fisika dijelaskan bahwa elektron terkecil sampai dengan galaksi terbesar bergerak mengikuti garis lengkung. Mikro cosmos adalah miniatur makronya yang lebih besar. Manusia dan alam. Galaksi dan Bima Sakti.

Karena sifat dasar alam bersifat lengkung (hanif) maka kelurusan (istiqamah) menjadi sangat penting demi mengotrol dan mengendalikan perubahan ini untuk menegakkah aturan hukum. Karena itu istiqamah bukanlah bahagian dari hukum alam akan tetapi ia lebih sebagai ketentuan Allah. Karenanya hanifah dan istiqamah sama-sama berfungsi untuk mengatur manusia. Manusia selalu membutuhkan istiqamah (QS. Al-Fatihah: 5). Karenanya kita tidak pernah mendapati satu ayatpun dalam al-qur’an tetang permohonan untuk ditunjuki jalan yang hanifiyah (bengkok).
Tentang apakah konsep Istiqamah ini akan “memaksakan” lengkungan itu secara kaku? Disinilah Syahrur menawarkan ruang elastisitas hukum dengan tiori batasnya-batas hukum (hudud) atau “Theory of limits”.  Sekali lagi, hubungan keduanya sepenuhnya dialektis. Karena ketetapan dan perubahan yang terdapat pada hubungan keduanya terjalin dan berkelindan. Dialiktis ini menunjukan elastisitas ruang hukum dalam menghadapi kondisi, tempa dan waktu (Shalih likully zaman wa makan). Akhirnya manusia bergerak dengan karakter kelengkunganya dalam batas-batas “keluwesan” itu.
SEPUTAR TEORI BATAS (LIMIT)
Teori batas dapat dipahami sebagai berikut: Perintah Allah yang diungkapkan dalam al-Qur’an dan Sunnah mengandung ketentuan-ketentuan yang merupakan batas terendah (al-had al-adna) dan batas tertinggi (al-had al-‘ala) untuk seluruh perbuatan manusia. Dalam kasus hukum ketetapan terendah adalah batasan minimum dan tertinggi adalah batasan maksimum. Tidak ada bentuk hukum yang lebih rendah dari batas minimum dan lebih tinggi dari batas maksimum. Hukum akan titetapkan antara batas maksimum dan minimum tergantung dari kualitas kesalahan yang dilakukan.
Namun demikian perbedaan-perbedaan dan cakupanya terbagi ke dalam enam variasi. Bentuk batas-batas penetapah hukum dari masing-masing pelanggaran. Penjelasan lanjutan hingga ke bentuk-bentuk batas hukum dirasa melebar dari maksud tulisan yang coba mendekati sistem pendistribusian modal dengan teori batas (Teory Limit). Akan tetapi penjelasan ini penulis anggap penting agar tidak ada konsep mengenai teori batas Syahrur yang tercecer, sekaligus sebagai pijakan dalam pengembangan lebih lanjut dalam persoalan lain yang selalu hinggap dalam kehidupan kita. Berikut ini deskripsi singkat sekitar bentuk batas-batas hukum Syahrur:
a.      Batas Mimimum (had adna)
Dalam batas minimum ini Syahrur mencontohkan pada pelarangan dalam al-Qur’an untuk mengawini para perempuan yang disebutkan pada surat an-Nisak: 22: , dalam kondisi apapun tidak boleh melanggar batasan ini meskipun telah melakukan proses ijtihat. Contoh batasan ini terdapat dalam surat an-Nisak: 23: Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua);...
Dalam kondisi apapun tidak seorang pun yang diperbolehkan menikahi mereka yang dilarang dalam ayat ini, meskipun didasarkan pada ijtihat.
b.   Batasan Maksimum (had a’la)
Untuk kasus ini dapat kita lihat pada QS. Al-Maidah: 38 mengenai pencuri. Baik laki-laki maupun perempuan maka potonglah tangan mereka. Potong tangan disini adalah hukuman maksimum. Karena itu hukuman untuk pencuri tidak mesti potong tangan tetapi tergantung pada kualitas barang yang dicuri dan kondisi sa’at itu.

Lantas bagaimana dengan korupsi dalam jumlah besar. Ini digolongkan ke dalam pengkhianatan terhadap Allah dan Rasul.  Kesalahan itu sama juga dengan pembocoran rahasia negara. Perampasan hak umum, harta negara yang mengancam banyak jiwa. Maka mereka dihukum bunuh, disalib dan rajam sebagaiman dalam surat al-Maidah ayat: 33: Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka didunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar,

c.      Posisi Batas Minimum dan Maksimum Bersamaan
Batasan ini berlaku pada pemabagian harta warisan. Dalam al-Qur’an dapat diperhatikan dalam QS. an-Nisa’ ayat 11.Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, Maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, Maka ia memperoleh separo harta...
d.      Posisi Perpaduan pada Satu Titik
Posisi batas minimum dan maksimum bersamaan pada titik atau posisi lurus pada penetapah hukum particular (‘ainiyah).  Ketentuan ini hanyya terdapat satu kasus dalam al-Qur’an pada surat an-Nur mengenai kasus penzinaan. Bagi penzina laki-laki maupun perempuan maka deralah mereka 100 x tidak boleh kurang dan tidak bleh lebih.
e.   Garis Khalwat
Dalam kasus ini posisi batas maksimum dengan satu titik mendekati garis lurus tanpa persentuhan.  Posisi ini diterapkan dalam batasan hubungan fisik antara laki-laki dan perempuan. Hubungan fisik terjadi antara manusia berlawanan jenis ini bermula dari batasan terendah, berupa hubungan tanpa persentuhan sama sekali antara keduanya dan berakhir pada batasan paling tinggi, berupa tindakan yang menjurus pada hubungan kelamin yang disebut zina. Ketika seseorang masih berada pada tahap melakukan tindakan yang menjurus ke zina tetapi belum sampai pada zina itu maka ia belum terjerumus pada batasan maksimum hubungan fisik yang ditetapkan Allah. Sebelum mereka melakukan zina maka hukuman had Tuhan itu tidak dapat dilaksanakan kecuali hukuman khalwat.
f.        Posisi Batas Maksimum “Positif” Tidak Boleh Dilewati Dan Batas Bawah “Neatif” Dapat Dilewati (Dalam Kurva, X dan Y).
Sebetulnya kurva dalam teori batas (+) dan batas (-) inilah (dapat dilihat pada bagian akhir tulisan ini) yang hendak penulis operasionakan dalam menganalisis masalah riba dalam distribusi keuangan. Garis hanifiah ini bergerak antara batas maksimum yang berada pada daerah positif (+) dan batas minimum yang berada pada daerah negative (-). Teori batas keenam inilah yang kita pakai dalam menganalisis transaksi keuangan. Batas tertingi dalam peminjaman uang dinamakan dengan pajak bunga dan batas terendah dalam pemberian adalah zakat. Garis tengah yang berada antara wilayah positif (+) dan negative (-) adalah titik nol (batas netral). Pemberian pada wilayah nol ini adalah peminjaman bebas bungan (qardh hasan).
DISTRIBUSI MODAL DALAM TEORI BATAS
Jika kita cermati dalam teori batas keenam Syahrur dapat dijelaskan bahwa pengalihan (distribusi) harta kekayaan antar manusia terdapat tiga jalan alternatif. Pertama, pemberian dengan pajak bunga. Kedua, Pemberian tanpa bungan (qard hasan) Ketiga, pemberian karena Zakat dan sadakah. Pemberian dengan pajak bunga adalah wilayah batas maksimum. Batasan maksimum ini tidak boleh dilampui melebihi dari pokok peminjaman. Sementara pemberian pada batas minimum tidak dibatasi ke arah negatif. Karena itu setelah mengeluarkan zakat sebagai kewajiban dapat diiringin dengan pemberian-pemberian lain seperti sadakah, hibbah, wasiat dan sebagainya.
Distribusi model pertama dengan imbalan pajak bunga bersentuhan dengan term riba yang selama ini didefinisikan. Karena itu kondisi ini perlu didekati melalui teori limit Syahrur. Agar penjelasan akhir ini tidak bercampur aduk mari kita awali pembahasan ini dengan tema riba, kemudian pemberian dan terakhir  zakat beserta sadakah.
a.      Riba
Term riba merupakan bagian dari batas-batas hukum Allah, yaitu pada posisi batas maksimum keenam (daerah positif).  Dalam bahas Arab kata-kata "riba" berasal dari rangkaian huruf ra-ba-wa yang arti dasarnya adalah “ziyadah”(tambahan), pertumbuhan dan ketinggian. Dalam kalimat operasionalnya disebutkan “raba al-syai’u yarbu iza zada”.  Sementara itu di dalam al-Qur’an kata-kata "riba" disebutkan dalam beberapa surat dan beragam redaksi. Hal ini dapat dilihat dalam QS. al-Baqarah: 275, 276, 278, 279, 280. QS. al-Imran: 130, 131, 132. QS. an-Nisak: 161. QS. al-Rum: 39.
Terdapat beberapa tempat penyebutan “riba” secara serempak dengan sadakah dan zakat. Pertama, Allah mengaitkan konsep riba dangan sedekah dalam firman-Nya: yamhaqu allahu al-riba wa-yurbi al-shadaqah (QS. al-Baqarah. 276). Kedua, Allah mengaitkan konsep riba dengan zakat dalam firman-Nya “wama ataytum min riba…wama ataytum min zakatin…(QS. al-Rum: 39). Ketiga, Allah menetapkan batas maksimum pengambilan bunga, yaitu riba. Dalam firman-Nya: la-ta’kulu al-riba adl’afan mudla’afatan (QS. al-Imran: 130). Keempat, Allah enetapkan batas netral atau titik nol dalam firman-Nya: wa-intubtum fa lakum ru’usu amwalikum la taulimuna w-la tuulamun (QS. al-Baqarah: 279).
b.        Zakat dan Sadakah
Zakat dan sadakah adalah pemberian dari seseorang kepada orang lain tanpa syarat apapun dari penerima. Sedangkan perbedaan anatar zakat dan sadakah bahwa zakat adalah batas minimal dari pemberian yang diwajibkan dalam Islam atau minimal dari kewajiban bersadakah. Karena itu, ketika Allah mengawali ayat al-Qur’an menegenai kewajiba zakat memakai lafazd “inama al-shadaaqatu”. Redaksi ini dapat dipahami bahwa zakat merupakan salah satu bentuk sedakah. Karena itu terma sadakah merupakan kata umum yang juga mencakup sadakah. Oleh karena itu batas zakat dapat dilampaui batas minimu ke arah negatif dengan sedekah dan pemberian lain.

Sebagai contoh. Mari kita perhatikan kelanjutan dari ayat “inama al-shadaqatu li al-fuqaraa…”yang dimaksud dengan fakir disini adalah mereka yang tidak mampu melakukan transaksi ekonomi apapun, atau tidak mampu melunasi bentuk pinjaman harta selunak apapun dalam sistem perekonomian yang berlaku. Untuk kelompok inilah berlaku ayat Allah “Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sadakaqah”. Karena kelompok ini tidak mampu melakukan transaksi dalam bentuk apapun. Mereka berhak menerima harta pemberian bukan pinjaman. Adapun ujrah pemberian itu adalah pahala dari Allah. Begitu juga dengan ayat “orang yang makan riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan…” (al-Babaqarah: 25), al-Baqarah: 279 “jika kamu tidak mengerjakan (meniggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu”.  Konteks ayat ini berlaku pada kondisi pertama yaitu pengalihan pinjaman berbungan kepada mereka yang fakir (Syahrur: 2004. 49).
Kondisi pendistribusian modal kepada golongan kedua yaitu mereka yang mampu mengembalikan pokok modalnya saja tanpa bunga sama sekali maka bentuk pemberian itu berada pada garis netral (titik nol). Krisis global seperti sekarang ini pemerintah mesti memberi stimulus (buil out) kepada sektor rill mikro yang tersandra, terseret dalam arus global yang tidak berujung. Agar mereka mampu menghidupkan aktifitas ekonomi sehingga terhindar dari resesi ekonomi. Pemberian dana talangan tanpa biaya ini (bunga) khusus pada sektor rill usaha kecil. Pinjaman ini dinamakan sebagai Qard Hasan yaitu pinjaman tanpa bunga. Kondisi ini digambarkan dalam al-Qur’an dalam surat al-Baqarah ayat: 279: “Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganianya dan tidak pula dianianya”. Ini adalah batas maksimum pengalihan yang dapat dilakukan kepada kelompok kedua, sebaiknya disedekahkan. Karena itu sebenarnya lebih utama kepada mereka diberikan sadakah bukan pinjaman tanpa bunga QS. al-Baqarah. 280: “Dan menyedekahkan (sebahagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.”

Kelompok ketiga adalah mereka yang mampu melakukan aktifitas ekonomi. Mereka yang memperoleh penghasilan besar dari mata pencahrianya seperti para kolongmerat disektor perdagangan, industri, agrobisnis. Termasuk kategari ini adalah mereka yang menduduki posisi basah seperti pada jasa tranportasi, komunikasi (INDOSAT), pertambangan, asuransi dan sebagainya. Maka mereka tidak berhak atas ayat-ayat sadakah.

Kelompok terakhir ini berlaku hukum batas maksimal pajak bunga. Artinya pada mereka dapat diambil bunga pinjaman atau keuntungan sampai batas maksimal dan tidak boleh melewatinya. Batas maksimal adalah melebihi besaran pinjaman pokok. Pengambilan melebihi batas maksimal akan berlaku ayat QS. al-Imran: 130: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan Riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.”
Allah menetapkan batasan bunga tertinggi bagi kelompok manusia yang tidak berhak dan tidak membutuhkan mekanisme sadaqah. Mereka adalah kolomerat, para pengambil kebijakan. Pengusaha kelas kakap yang mendatangkan keuntungan besar.
IKHTITAM
Demikianlah pembahasan mengenai teori maslahat dan pendistribusian modal dalam hukum islam menurut teori limit Syahrur. Ternyata banyak hal yang belum kita salami dan mengerti. Sepertinya kesungguhan dan kebiranian sangat diperlukan untuk menggagas suatu konsep. Setidaknya ini yang penulis rasakan ketika menela’ah karya Syahrur.
Suatu keniscayaan membangun sebuah perpektif harus merekonstruksi sampai ke akar-akarnya. Syahrur salah satu dari beberapa yang telah mengajukan konsep orisinil dari perpektif yang berbeda. Ia telah membangun tiori limit (hudud) sebagai “remeaning” terhadap al-quran dan al-sunnah. Tidak pelak lagi mashadir syar’iyah yang selama ini diangung-angungkan sebagai “mesin” pencetak hukum diabaikan oleh Syahrur. Terlepas dari berbagai kekurangan seperti konsep  independensi teks, ternyata juga tidak. karena tetap dipengaruhi oleh latar belakang sekitar teks Syahrur. Namun demikian Syahrur telah berani menggungat kemapanan yang selama ini menghigemoni; Ijmak, qiyas adalah tradisi yang salah dan telah melahirkan hukum yang keliru.

Hal baru dan yang mengembirakan adalah teori limit keenam Syahrur ternyata juga dapat kita operasionalkan sehingga melahirkan perpektif yang baik mengenai tata cara pendistribusian modal. Elastisitas pendistribusian dalam teori ini lebih rasional. Keluasan dan ketegasan tertata dengan rapi. Ketegasan hukum terlihat tatkala pemberian kepada fakir haruslah sadakah dan mereka wajib diberdayakan dengan pemberian tanpa harus dikembalikan. Bagi mereka yang mampu bekerja dan hannya mampu menegembalikan modal maka bagi mereka diberikan modal dengan pengembalian pokoknya saja (qard hasan) ini adalah pemberian dan pengembalian maksimal yang seharusnya juga tidak perlu diminta kembali bantuan modal yang telah diberikan.

Bagi kita, dapat saja pemahaman seperti ini diadopsi demi kemaslahatan dan keadilan dalam pendistribusian harta di antara sesama. Yang kaya tidak didhalimi yang miskin dapat ditolong. Atau setidaknya pemahaman ini membuka cakrawala berfikir. Ternyata masih banyak alternatif yang juga sulit untuk dibuktikan kekeliruannya.

Tentunya dengan keterbatasan penulis yang kurang memadai telah dan akan terdapat kekurangan dan kekeliruan. Meskipun penulis telah berusaha agar gagasan ini tidak ada yang tercecer dan keliru. Atas semua itu saran, koreksi dari pembaca sangat diharapkan. Akhirnya…wallahu’alam.[]

DAFTAR RUJUKAN
Al-Ghazali, al-Mustasfa min Ulumu  al-Hadith, juz. I, Muassasah ar-Risalah, Libanon: 1998
‘Abid al-Jabiri, Takwim al-‘Aql  al-Arabi. Markaz Dirasah al-Wihdah al-Arabiyah, Bairut, 1989.
Al-Syatiby, al-Muafaqah fi ushuli al-Syar’ai, juz. II (Kairo: Mustafa Muhammad, tt)
Al-Syayuthi, al-Asbah wa-al-nadhair fi al-Furu’, al-Dar al-fikr, Libanon, 1995.
Hasbi Umar, Nalar Fiqh Kontemporer, GP Press. Jakarta: 2007.
Kaki Lima, formulasi Nalar fiqh: Tela’ah Kaidah dan Fiqh Konseptual, Khalisa, Surabaya, 2005.
Muhammad Syahrur, Prinsip-Prinsip Dasar Hermenuetika Al-Qur’an Kontemporer, Terj. Sahiron Syamsyuddin, eL-SAQ PRESS. Yogyakarta: 2004.
Muhammad Syahrur, Metodologi Fiqh Islam Kontemporer, eLSAQ. Yogyakarta: 2004.
Muhammada Syahrur, Prinsip dan Dasar Hermenuetika Hukum Islam Kontemorer, eLSAQ , Yogyakarta: 2007
Richard E Palmer, Hermeneutika: Teori Baru Mengenai Interpretasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2005.  

Iskandar | Staf pengajar pada STAIN Malikussaleh Lhokseumawe.
Ketua Himpunan Mahasiswa Pascasarjana Aceh Yogyakarta (HIMPASAY).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar