Sabtu, 28 Mei 2011

MASLAHAH & SISTEM DISTRIBUSI MODAL ALTERNATIF DALAM TEORI SYAHRUR

 
MASLAHAH & SISTEM DISTRIBUSI MODAL ALTERNATIF DALAM TEORI SYAHRUR
Oleh Iskandar Ibrahim Beurleung

MUQADDIMAH
Suatu keniscayaan bahwa pembahasan hukum Islam kontemporer berlandaskan kepada kemaslahatan. Konsep kemaslahatan ini menajadi sangat penting manakala persoalan sekarang dirasa tidak lagi mampu diakomodir oleh fiqh lama (klasik). Banyak persoalan sekarang tidak lagi memiliki rujukan mentah dalam kitab fiqh kalsik sehingga membutuhkan ijtihad baru. Ijtihat barupun bukan tidak mendapatkan masalah. Selalu saja ijtihad itu berbenturan dengan motode yang selama ini dipakai. Ushu fiqh misalnya juga sudah tidak lagi mampu memberi solusi yang memadai. Sehingga dirasa perlu untuk merekonstruksi ulang atau setidaknya penyempurnaan pada bagian-bagian yang sudah “udzur”.
Mashadir al-syariyah (ortodoksi) klasik yang terdiri dari al-Qur’an, Hadith, Ijmak dan Qiyas dan seterusnya dirasa tidak lagi “membumi” dalam pembinaan hukum islam. Permasalahannya bukan saja pada urutan item-item ortodoksi itu akan tetapi juga keberadaan beberapa landasan tersebut harus dilihat dari perpektif lain. Nyaris semua item itu mulai dipertanyakan hatta interpretasi al-qur’an; scolastik, hermeneuetik dan lain sebagainya. Pembacaan Abu Zayd dengan pendekatan languistic history yang kemudian berdimensi pada teks qur’an sebagai konteksnya yang saling berkaitan antara parsial (juz’i), universal (kulli) dan realitas social-histors. Fazhlurrahman dengan teori Double Movement, Arkon, ‘Abid al-Jabiry masing-masing dengan pembacaan teks yang berkaitan dengan konteks dan juga hermenuetika al-qur’an. Hingga terakhir Syahrur dengan penolakan terhadap sinonimitas bahasa Arab sehingga teks al-qur’an benar-benar bebas dari konteksnya, merupakan bentuk-bentuk “penjamahan” wilayah inti ortodoksi.
Sebetulnya, problematika sekitar Mashadir l-Syar’iyah dapat ditelusuri sejak awal kelahirannya. al-Qiyas misalnya, sejak awal telah dipertentangkan mengenai keikutsertaanya dalam deretan ortodoksi itu kecuali imam Syafi’e – yang memperkenalkan metode qias sebagai sumber hukum. Selain imam empat, Al-Ghazali misalnya dalam al-Mustasfa tidak menyebutkan Qiyas bebagai mashadir syar’iyah utama (Al-Ghazali, al-Mustasfa: 1998. 438). Selain itu yang lebih spektakuler adalah at-Tufi. Ia menawarkan mashadir itu terdiri dari Nash, ijmak dan Maslahah. Tiga konsep inilah yang dapat menjadi istrumen dalam menggali hukum yang sah. Dan lagi, apabila nash bertentangan dengan maslahah maka dahulukan maslahah (al-Aslu Kully). Sementara apabila paradoks antara nash dan ijmak berlaku takhsis auw tabayyin. Dalam hal ini lagi-lagi yang paling dekat dengan maslahat itulah yang didahulukan.

Konsekwensi dari pemahaman di atas, bahwa istilah qath’I yang selama ini kita kenal dalam ushul fiqh harus ditinjau kembali. Qath’I dalam pemahaman ushul selama ini kita definisikan sebgai sesuatu yang “pasti” tidak dapat diubah-ubah lagi oleh ijtihat, sementara dzanni sesuatu yang tidak “pasti” karenanya dapat dijamah oleh ijtihat. Karena itu selama ini Fiqh menyimpulkan bahwa yang qith’I adalah apa-apa (hukum) yang sarih dan meyakinkan ditunjuk oleh hash (al-qur’an dan al-hadith). Sedangkan dzanni apa-apa (hukum) yang karinah nasnya kurang sarih, ambigu dan mengandung pengertian yang berbeda-beda. Tetapi sebetulnya yang qath’I, tidak “berubah-ubah” dan bersifat “pasti” adalah nilai-nilai malkiyahnya (maslahat dan keadilan) itu sendiri.

Lantas bagaimana kemaslahatan ini dimaknakan. Jumhur ulama menjelaskan lebih lanjut bahwa kemaslahatan itu dibingkai dalam maqashidu al-Syar’iyah atau maqashid al-khamsah. al-Syatiby (w 790/1388) dan juga yang lain menguraikannya menjadi Hifz ad-Din, Hifz Nafs, Hifz ‘aql, Hifz nashb, Hifz mall. Penjabaran selanjutnya oleh ulama ushul tidak terkecuali al-Ghazali mencerminkan skala prioritas pada masing-masingnya. Skala prioritas dimaksud adalah Pertama, Dharuriyyat. Kedua, al-Hajjiat. Ketiga, Tahshiniyyah. Imam Haramen (syafi’iyyah) dan al-Juwaini gurunya Imam al-Ghazali mengistilahkan dengan Pertama, Dharuriyah. Kedua, al-Hajah al-‘ammah, Ketiga, makramah.

Kerena itu semangat kemaslahatan sebagai tujuan hukm mesti ada. Hanya saja prioritas dan wilayah yang kadang-kadang berbeda satu sama lain. Tidak terkecuali Syahrur juga berangkat dari konsep maslahat. Asumsi-asumsi dasar Syahrur dapat ditemukan ketika ia membangun tiorinya yang penuh dengan premis-premis kulliyah. Beberapa pertanyaan mendasar dapat kita telusuri dalam Prinsip-Prinsip Dasar Hermenuetika Al-Qur’an Kontemporer karya Syahrur, bahwa “jika Islam bersifat relevan pada setiap ruang dan waktu, maka harus dipahami al-kitab juga diturunkan pada kita yang hidup pada abad ke dua puluh ini, seolah-olah Nabi Muhammad baru saja wafat setelah menyampaika wahyu al-qur’an kepada kita”. Karena itu pembacaan terhadap al-kitap harus dalam perpektif nalar zaman abad ke dua puluh sekarang”. Dalam komentar ini jelas sekali mengandung muatan maslahat.
Setelah kita jajaki bagaimana konsep maslahat diikutsertakan dalam menetas hukum yang berkeadilan, selanjutnya konsep ini akan kita telusuri sampai pada penjelaskan spesifik masalah pendistribusian modal. Secara umum banyak hal yang dapat dijelaskan dengan pendekatan Syahrur. Tetapi dalam kerangka operasionalnya tetap memerlukan wilayah yang lebih specific dan teori lain sebagai alat analisis. Tidak mungkin kita menemukan maslahat sebelum dianalisis dengan metode yang sesuai.

Tulisan ini akan menjelaskan bagaimana maslahah dan pendistribusian modal dioperasionalkan dalam teori batas (had) Syahrur terhadap al-qur’an dan juga isu kontemporer lainnya. Artinya, di sini penulis mengajak kita semua bersama-sama dengan Syahrur mendekati teks dan realitas ekonomi melalui perpektif teori limitnya.


KERANGKA OPERASIONAL TEORI SYAHRUR
Seperti yang telah disingung sebelumnya bahwa Syahrur tidak menganut sinonimisis dalam bahasa Arab. Menurutnya setiap ungkapan dalam bahasa Arab memiliki makna yang independen. Tidak ada kontektualisasi baik bagi teks, penerimaanya maupun penyusunanya. Dengan kata lain al-Qur’an adalah sebuah teks tanpa konteks apapun. Ia adalah teks yang bediri sendiri tanpa ada keterkaitan dengan sejarah ataupun masyarakat yang menjadi tujuan pewahyuan itu. Baginya konteks terpenting dalam memahami al-qur’an adalah konteks politik dan intelektual yang menjadi ruang hidup ummat (Muhammad Syahrur, Prinsi: 2004. 13).
Lebih jauh ia menjelaskan bahwa Nabi hanya sebagai penerima dan ia tidak memiliki peran selain meneriman dan menyampaikan. Perannya hanya sebatas pada cara yang dijalaninya dalam kehidupan sebagai contoh pertama (the first mirror) dari beragam variasi perwujudan al-qur’an. Karena itu dilihat dari pendekatan linguistiknya rumusan independensi teks ini terdapat perbedaan-perbedaan mendasar antara beberapa ungkapan kunci dalam diskursusnya seperti pembedaan antara al-Qur’a, dan umul-kitab. Kenabian dan kerasulan serta al-inzal dan al-tanzil. Sedangkan konsep istiqamah dan hanifiah sebagai wilayah pemberlakuan (elastisitas) hukum. Konsep Istiqamah dan Hanifiah ini nanti akan melahirkan theory limit. Selain itu penulis melihat pikiran Syahrur juga dipengaruhi filsafat alamiah, dasar-dasar ilmu alam dan humaniora selain pendekatan linguistic.
a.      Al-Kitab dan Al-Qur’an, Kenabian (Nubuwwah) dan Kerasulan (al-Risalah)
Syahrur berpendapat bahwa al-qur’an tidak  mencakup keseluruhan al-kitab, tetapi hanya mencakup dimensi kenabian (nubuwwah). Syariah (hukum Islam) adalah termasuk dimensi kerisalahan, yang disebut sebagai umm al-kitab (induk al-kitab). Ayat–ayat umm al-kitab mencakup tema-tema tentang batas-batas hukum Tuhan (hudud), ibadah ritual, pilar-pilar moral berupa wasiat-wasiat, ajaran-ajaran (ta’limat) dan ayat-ayat bersifat local temporal. Al-qur’an dan umm al-kitab, kenabian dan kerisalahan tercakup dalam istilah al-kitab ini. Mengenai kandungan al-kitab terhadap dua model ayat; mutasyabihat yang bersifat figuratif dan alegoris juga muhkamat sebagai ayat-ayat ketetapan hukum. Bagian terakhir ini Syahrur memiliki kesimpulan seperti yang lain.

Perbedaan antara al-kitab dan al-qur’an sejajar dengan perbedaan konsep Nubuwwah (kenabian) dan al-Risalah  (kerasulan). Yang pertama menunjukkan perbedaan antara realitas dan khayalan atau ilusi, sedangkan yang kedua berisi hukum dan aturan tingkah laku. Dengan kata lain yang pertama bersifat objektif dan independen sementara yang kedua bersifat subjektif dan tergantung pada pengetahuan namusia.
Pesan-pesan yang terkandung dalam misi kenabian (nubuwwah) adalah pesan-pesan moral: keadilan, egaliter, kemerdekaan dan sebagainya (Kulliyah) sementara dalam misi kerasulan (al-Risalah) mengandung model penerapan pada kali pertama tentang hukum-hukum Allah pada masyarakat Arab. Penerapan Pesan-pesan juz’I ini merupakan variasi kali pertama yang dicontohkan Rasul.
Bagi Syahrur penafsiran dan ijtihat merupakan hal yang berbeda. Penafsiran meliputi perubahan makna dari teks ambigu hingga bisa memunculkan dua persepsi atau lebih dari satu kata yang sama. Sementara ijtihad adalah proses dimana bahasa hukum dipergunakan untuk menghasilkan hukum tertentu yang sesuai dengan waktu dan tempat tertentu pula.
b.      Al-Inzal dan Al-Tanzil
Penjelasan tetang perbedaan al-inzal dan al-tanzil sangat penting dalam usaha pemahaman terhadap al-Kitab secara keseluruhan. Proses ini sangat berkaitan dengan pemahaman konsep Nubuwwah dan al-Risalah sebagai bahagian masing-masing yang memilik misi barbeda.

Firman Allah dalam surat al-Hadit ayat: 25 dan juga dalam QS. al-A’raf: 26: “ya bani adama qad anzalna alaikum libasan yuwarisauatikum wa-risyan…” .Dalam ayat ini Allah menginformasikan kepada kita bahwa proses al- Inzal “besi” dan “pakaian” kepada manusia sudah telah berlangsung sempurna. Selain itu Allah juga berfirman tentang al-inzal al-Qur’an “inna nazzalnahu qur’anan ‘arabiyan (yusuf: 2). Dalam ayat yang lain Allah berfirman inna nazzalnahu fi lailah al-qadar (QS. al-Qurdr: 1) pertanyaanya adalah bagaimana cara memahami inzal besi dan al-Qur’an.

Terkait dengan konsep al-Tanzil, Allah berfirman “inna nahnu nazzalna ‘alaika al-Qur’anan tanzila (QS. al-Insan: 23) dan firman “tanzil al-kitabi minallahi al-‘azizi al-hakim (QS. al-Jasiyah: 2) dalam surat QS. al-Fusilat ayat: 2 kita mendapatkan redaksi “tanzil min al-rahmah al-rahim” radaksi yang serupa juga kita temukan dalam QS. al-Wakia’ah: 80 “tanzil min rabb al-‘alamin”. Selain itu Rasul telah menjelaskan dalam hadistnya tentang proses turunnya al-qur’an. Beliau bersabda “unzila qur’ana jumlatan wahidatan ila al-sama’I al-dunya fii lailah al-qadr tsumma nazala ba’da dzalika fii isyrina sanatan” (HR. Ibn ‘Abbas). Menurut Syahrur hadith ini termasuk dalam hadith metafisika, tentang keghaiban karenanya tidak boleh dipahami secara letterlijk, melainkan harus memahaminya dengan rasional dan sesuai dengan akal dan realita. Jika dipahami secara literlijk maka kita akan dihadapkan kepada pertayaan selanjutnya. Seandainya al-qur’an diturunkan ke langit dunia dan apakah proses al-inzal besi dan pakaian itu juga diturunkan sama dengan proses al-qur’an?

Al-inzal adalah perpindahan objek dari wilayah yang tidak dapat diketahui menuju wilayah yang dapat diketahui. Al-Qur’an , pada awalnya berada pada wilayah yang tidak dapat diketahui ‘tidak ditampakkan’ (al-Tanzil sebelum proses al-Inzal). Sa’at itu al-qur’an beruwujud primordial objektif yang berada di luar kesadaran mamnusia. Kemudian dipindahkan menuju wilayah yang dapat diketahui yaitu ke dalam bahasa Arab dari Allah (al-Tanzil). Proses ja’j dan al-Inzal ke dalam bahasa Arab yang dapat dipahami berlangsung sekaligus secara keseluruhan dalam satu kesempatan. Peristiwa itu terjadi pada malam al-qadr. Proses al-Tanzil selanjutnya (kedua) setelah al-inzal sekaligus pada lailah al-qadar adalah oleh Jibril kepada Muhammad. Proses al-tanzil ini juga terjadi diluar kesadaran manusia. Setelah pesan-pesan itu berbentuk dalam lafadz-lafadz Arab dengan lidah Muhammadlah baru dipahami.

Karena itu al-qur’an tidak terkait dengan sejarah sa’at titurunkan kepada Muhammad. Turunnya al-qur’an tidak terikat dengan asbab al-nuzul. Meskipun tidak ada asbab tetap saja al-qur’an (al-inzal) itu diturunkan, diminta atau tidak.
c.       Dua Konsep yang Bertentangan (Mustaqim dan Hanifiah)
Agar mengetahui pesan hukum dalam perpektif Syahrur perlu digambarkan perbedaan mendasar antara dua konsep yang bertentangan tetapi saling melengkapi. Hubungan dialektis kedua konsep itu dapat dijumpai dalam kitab yaitu dengan ungkapan “Istiqamah” (strangest) dan “Hanifiyah” (culvature). Setelah diperhatikan penggunaan kata-kata tersebut dalam al-Qur’an Syahrur menyimpulkan bahwa arti Hanifiyah adalah “penyimpangan” dari jalan yang lurus atau dari kelurusan. Lawan dari Hanifiyah adalah Istiqamah yang menjadi sifat dari “kelurusan”, mengikuti jalan yang lurus.

Istilah ini paling tidak untuk mengambarkan pola hubungan yang saling melengkapi dalam al-risalah. Kelengkungan (hanifiyah) merupakan sifat dasar alam. Benda-benda di alam ini tidak ada yang bergerak mengikuti pola lurus akan tetapi cenderung mengikuti garis lengkung. Dalam ilmu fisika dijelaskan bahwa elektron terkecil sampai dengan galaksi terbesar bergerak mengikuti garis lengkung. Mikro cosmos adalah miniatur makronya yang lebih besar. Manusia dan alam. Galaksi dan Bima Sakti.

Karena sifat dasar alam bersifat lengkung (hanif) maka kelurusan (istiqamah) menjadi sangat penting demi mengotrol dan mengendalikan perubahan ini untuk menegakkah aturan hukum. Karena itu istiqamah bukanlah bahagian dari hukum alam akan tetapi ia lebih sebagai ketentuan Allah. Karenanya hanifah dan istiqamah sama-sama berfungsi untuk mengatur manusia. Manusia selalu membutuhkan istiqamah (QS. Al-Fatihah: 5). Karenanya kita tidak pernah mendapati satu ayatpun dalam al-qur’an tetang permohonan untuk ditunjuki jalan yang hanifiyah (bengkok).
Tentang apakah konsep Istiqamah ini akan “memaksakan” lengkungan itu secara kaku? Disinilah Syahrur menawarkan ruang elastisitas hukum dengan tiori batasnya-batas hukum (hudud) atau “Theory of limits”.  Sekali lagi, hubungan keduanya sepenuhnya dialektis. Karena ketetapan dan perubahan yang terdapat pada hubungan keduanya terjalin dan berkelindan. Dialiktis ini menunjukan elastisitas ruang hukum dalam menghadapi kondisi, tempa dan waktu (Shalih likully zaman wa makan). Akhirnya manusia bergerak dengan karakter kelengkunganya dalam batas-batas “keluwesan” itu.
SEPUTAR TEORI BATAS (LIMIT)
Teori batas dapat dipahami sebagai berikut: Perintah Allah yang diungkapkan dalam al-Qur’an dan Sunnah mengandung ketentuan-ketentuan yang merupakan batas terendah (al-had al-adna) dan batas tertinggi (al-had al-‘ala) untuk seluruh perbuatan manusia. Dalam kasus hukum ketetapan terendah adalah batasan minimum dan tertinggi adalah batasan maksimum. Tidak ada bentuk hukum yang lebih rendah dari batas minimum dan lebih tinggi dari batas maksimum. Hukum akan titetapkan antara batas maksimum dan minimum tergantung dari kualitas kesalahan yang dilakukan.
Namun demikian perbedaan-perbedaan dan cakupanya terbagi ke dalam enam variasi. Bentuk batas-batas penetapah hukum dari masing-masing pelanggaran. Penjelasan lanjutan hingga ke bentuk-bentuk batas hukum dirasa melebar dari maksud tulisan yang coba mendekati sistem pendistribusian modal dengan teori batas (Teory Limit). Akan tetapi penjelasan ini penulis anggap penting agar tidak ada konsep mengenai teori batas Syahrur yang tercecer, sekaligus sebagai pijakan dalam pengembangan lebih lanjut dalam persoalan lain yang selalu hinggap dalam kehidupan kita. Berikut ini deskripsi singkat sekitar bentuk batas-batas hukum Syahrur:
a.      Batas Mimimum (had adna)
Dalam batas minimum ini Syahrur mencontohkan pada pelarangan dalam al-Qur’an untuk mengawini para perempuan yang disebutkan pada surat an-Nisak: 22: , dalam kondisi apapun tidak boleh melanggar batasan ini meskipun telah melakukan proses ijtihat. Contoh batasan ini terdapat dalam surat an-Nisak: 23: Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua);...
Dalam kondisi apapun tidak seorang pun yang diperbolehkan menikahi mereka yang dilarang dalam ayat ini, meskipun didasarkan pada ijtihat.
b.   Batasan Maksimum (had a’la)
Untuk kasus ini dapat kita lihat pada QS. Al-Maidah: 38 mengenai pencuri. Baik laki-laki maupun perempuan maka potonglah tangan mereka. Potong tangan disini adalah hukuman maksimum. Karena itu hukuman untuk pencuri tidak mesti potong tangan tetapi tergantung pada kualitas barang yang dicuri dan kondisi sa’at itu.

Lantas bagaimana dengan korupsi dalam jumlah besar. Ini digolongkan ke dalam pengkhianatan terhadap Allah dan Rasul.  Kesalahan itu sama juga dengan pembocoran rahasia negara. Perampasan hak umum, harta negara yang mengancam banyak jiwa. Maka mereka dihukum bunuh, disalib dan rajam sebagaiman dalam surat al-Maidah ayat: 33: Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka didunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar,

c.      Posisi Batas Minimum dan Maksimum Bersamaan
Batasan ini berlaku pada pemabagian harta warisan. Dalam al-Qur’an dapat diperhatikan dalam QS. an-Nisa’ ayat 11.Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, Maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, Maka ia memperoleh separo harta...
d.      Posisi Perpaduan pada Satu Titik
Posisi batas minimum dan maksimum bersamaan pada titik atau posisi lurus pada penetapah hukum particular (‘ainiyah).  Ketentuan ini hanyya terdapat satu kasus dalam al-Qur’an pada surat an-Nur mengenai kasus penzinaan. Bagi penzina laki-laki maupun perempuan maka deralah mereka 100 x tidak boleh kurang dan tidak bleh lebih.
e.   Garis Khalwat
Dalam kasus ini posisi batas maksimum dengan satu titik mendekati garis lurus tanpa persentuhan.  Posisi ini diterapkan dalam batasan hubungan fisik antara laki-laki dan perempuan. Hubungan fisik terjadi antara manusia berlawanan jenis ini bermula dari batasan terendah, berupa hubungan tanpa persentuhan sama sekali antara keduanya dan berakhir pada batasan paling tinggi, berupa tindakan yang menjurus pada hubungan kelamin yang disebut zina. Ketika seseorang masih berada pada tahap melakukan tindakan yang menjurus ke zina tetapi belum sampai pada zina itu maka ia belum terjerumus pada batasan maksimum hubungan fisik yang ditetapkan Allah. Sebelum mereka melakukan zina maka hukuman had Tuhan itu tidak dapat dilaksanakan kecuali hukuman khalwat.
f.        Posisi Batas Maksimum “Positif” Tidak Boleh Dilewati Dan Batas Bawah “Neatif” Dapat Dilewati (Dalam Kurva, X dan Y).
Sebetulnya kurva dalam teori batas (+) dan batas (-) inilah (dapat dilihat pada bagian akhir tulisan ini) yang hendak penulis operasionakan dalam menganalisis masalah riba dalam distribusi keuangan. Garis hanifiah ini bergerak antara batas maksimum yang berada pada daerah positif (+) dan batas minimum yang berada pada daerah negative (-). Teori batas keenam inilah yang kita pakai dalam menganalisis transaksi keuangan. Batas tertingi dalam peminjaman uang dinamakan dengan pajak bunga dan batas terendah dalam pemberian adalah zakat. Garis tengah yang berada antara wilayah positif (+) dan negative (-) adalah titik nol (batas netral). Pemberian pada wilayah nol ini adalah peminjaman bebas bungan (qardh hasan).
DISTRIBUSI MODAL DALAM TEORI BATAS
Jika kita cermati dalam teori batas keenam Syahrur dapat dijelaskan bahwa pengalihan (distribusi) harta kekayaan antar manusia terdapat tiga jalan alternatif. Pertama, pemberian dengan pajak bunga. Kedua, Pemberian tanpa bungan (qard hasan) Ketiga, pemberian karena Zakat dan sadakah. Pemberian dengan pajak bunga adalah wilayah batas maksimum. Batasan maksimum ini tidak boleh dilampui melebihi dari pokok peminjaman. Sementara pemberian pada batas minimum tidak dibatasi ke arah negatif. Karena itu setelah mengeluarkan zakat sebagai kewajiban dapat diiringin dengan pemberian-pemberian lain seperti sadakah, hibbah, wasiat dan sebagainya.
Distribusi model pertama dengan imbalan pajak bunga bersentuhan dengan term riba yang selama ini didefinisikan. Karena itu kondisi ini perlu didekati melalui teori limit Syahrur. Agar penjelasan akhir ini tidak bercampur aduk mari kita awali pembahasan ini dengan tema riba, kemudian pemberian dan terakhir  zakat beserta sadakah.
a.      Riba
Term riba merupakan bagian dari batas-batas hukum Allah, yaitu pada posisi batas maksimum keenam (daerah positif).  Dalam bahas Arab kata-kata "riba" berasal dari rangkaian huruf ra-ba-wa yang arti dasarnya adalah “ziyadah”(tambahan), pertumbuhan dan ketinggian. Dalam kalimat operasionalnya disebutkan “raba al-syai’u yarbu iza zada”.  Sementara itu di dalam al-Qur’an kata-kata "riba" disebutkan dalam beberapa surat dan beragam redaksi. Hal ini dapat dilihat dalam QS. al-Baqarah: 275, 276, 278, 279, 280. QS. al-Imran: 130, 131, 132. QS. an-Nisak: 161. QS. al-Rum: 39.
Terdapat beberapa tempat penyebutan “riba” secara serempak dengan sadakah dan zakat. Pertama, Allah mengaitkan konsep riba dangan sedekah dalam firman-Nya: yamhaqu allahu al-riba wa-yurbi al-shadaqah (QS. al-Baqarah. 276). Kedua, Allah mengaitkan konsep riba dengan zakat dalam firman-Nya “wama ataytum min riba…wama ataytum min zakatin…(QS. al-Rum: 39). Ketiga, Allah menetapkan batas maksimum pengambilan bunga, yaitu riba. Dalam firman-Nya: la-ta’kulu al-riba adl’afan mudla’afatan (QS. al-Imran: 130). Keempat, Allah enetapkan batas netral atau titik nol dalam firman-Nya: wa-intubtum fa lakum ru’usu amwalikum la taulimuna w-la tuulamun (QS. al-Baqarah: 279).
b.        Zakat dan Sadakah
Zakat dan sadakah adalah pemberian dari seseorang kepada orang lain tanpa syarat apapun dari penerima. Sedangkan perbedaan anatar zakat dan sadakah bahwa zakat adalah batas minimal dari pemberian yang diwajibkan dalam Islam atau minimal dari kewajiban bersadakah. Karena itu, ketika Allah mengawali ayat al-Qur’an menegenai kewajiba zakat memakai lafazd “inama al-shadaaqatu”. Redaksi ini dapat dipahami bahwa zakat merupakan salah satu bentuk sedakah. Karena itu terma sadakah merupakan kata umum yang juga mencakup sadakah. Oleh karena itu batas zakat dapat dilampaui batas minimu ke arah negatif dengan sedekah dan pemberian lain.

Sebagai contoh. Mari kita perhatikan kelanjutan dari ayat “inama al-shadaqatu li al-fuqaraa…”yang dimaksud dengan fakir disini adalah mereka yang tidak mampu melakukan transaksi ekonomi apapun, atau tidak mampu melunasi bentuk pinjaman harta selunak apapun dalam sistem perekonomian yang berlaku. Untuk kelompok inilah berlaku ayat Allah “Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sadakaqah”. Karena kelompok ini tidak mampu melakukan transaksi dalam bentuk apapun. Mereka berhak menerima harta pemberian bukan pinjaman. Adapun ujrah pemberian itu adalah pahala dari Allah. Begitu juga dengan ayat “orang yang makan riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan…” (al-Babaqarah: 25), al-Baqarah: 279 “jika kamu tidak mengerjakan (meniggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu”.  Konteks ayat ini berlaku pada kondisi pertama yaitu pengalihan pinjaman berbungan kepada mereka yang fakir (Syahrur: 2004. 49).
Kondisi pendistribusian modal kepada golongan kedua yaitu mereka yang mampu mengembalikan pokok modalnya saja tanpa bunga sama sekali maka bentuk pemberian itu berada pada garis netral (titik nol). Krisis global seperti sekarang ini pemerintah mesti memberi stimulus (buil out) kepada sektor rill mikro yang tersandra, terseret dalam arus global yang tidak berujung. Agar mereka mampu menghidupkan aktifitas ekonomi sehingga terhindar dari resesi ekonomi. Pemberian dana talangan tanpa biaya ini (bunga) khusus pada sektor rill usaha kecil. Pinjaman ini dinamakan sebagai Qard Hasan yaitu pinjaman tanpa bunga. Kondisi ini digambarkan dalam al-Qur’an dalam surat al-Baqarah ayat: 279: “Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganianya dan tidak pula dianianya”. Ini adalah batas maksimum pengalihan yang dapat dilakukan kepada kelompok kedua, sebaiknya disedekahkan. Karena itu sebenarnya lebih utama kepada mereka diberikan sadakah bukan pinjaman tanpa bunga QS. al-Baqarah. 280: “Dan menyedekahkan (sebahagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.”

Kelompok ketiga adalah mereka yang mampu melakukan aktifitas ekonomi. Mereka yang memperoleh penghasilan besar dari mata pencahrianya seperti para kolongmerat disektor perdagangan, industri, agrobisnis. Termasuk kategari ini adalah mereka yang menduduki posisi basah seperti pada jasa tranportasi, komunikasi (INDOSAT), pertambangan, asuransi dan sebagainya. Maka mereka tidak berhak atas ayat-ayat sadakah.

Kelompok terakhir ini berlaku hukum batas maksimal pajak bunga. Artinya pada mereka dapat diambil bunga pinjaman atau keuntungan sampai batas maksimal dan tidak boleh melewatinya. Batas maksimal adalah melebihi besaran pinjaman pokok. Pengambilan melebihi batas maksimal akan berlaku ayat QS. al-Imran: 130: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan Riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.”
Allah menetapkan batasan bunga tertinggi bagi kelompok manusia yang tidak berhak dan tidak membutuhkan mekanisme sadaqah. Mereka adalah kolomerat, para pengambil kebijakan. Pengusaha kelas kakap yang mendatangkan keuntungan besar.
IKHTITAM
Demikianlah pembahasan mengenai teori maslahat dan pendistribusian modal dalam hukum islam menurut teori limit Syahrur. Ternyata banyak hal yang belum kita salami dan mengerti. Sepertinya kesungguhan dan kebiranian sangat diperlukan untuk menggagas suatu konsep. Setidaknya ini yang penulis rasakan ketika menela’ah karya Syahrur.
Suatu keniscayaan membangun sebuah perpektif harus merekonstruksi sampai ke akar-akarnya. Syahrur salah satu dari beberapa yang telah mengajukan konsep orisinil dari perpektif yang berbeda. Ia telah membangun tiori limit (hudud) sebagai “remeaning” terhadap al-quran dan al-sunnah. Tidak pelak lagi mashadir syar’iyah yang selama ini diangung-angungkan sebagai “mesin” pencetak hukum diabaikan oleh Syahrur. Terlepas dari berbagai kekurangan seperti konsep  independensi teks, ternyata juga tidak. karena tetap dipengaruhi oleh latar belakang sekitar teks Syahrur. Namun demikian Syahrur telah berani menggungat kemapanan yang selama ini menghigemoni; Ijmak, qiyas adalah tradisi yang salah dan telah melahirkan hukum yang keliru.

Hal baru dan yang mengembirakan adalah teori limit keenam Syahrur ternyata juga dapat kita operasionalkan sehingga melahirkan perpektif yang baik mengenai tata cara pendistribusian modal. Elastisitas pendistribusian dalam teori ini lebih rasional. Keluasan dan ketegasan tertata dengan rapi. Ketegasan hukum terlihat tatkala pemberian kepada fakir haruslah sadakah dan mereka wajib diberdayakan dengan pemberian tanpa harus dikembalikan. Bagi mereka yang mampu bekerja dan hannya mampu menegembalikan modal maka bagi mereka diberikan modal dengan pengembalian pokoknya saja (qard hasan) ini adalah pemberian dan pengembalian maksimal yang seharusnya juga tidak perlu diminta kembali bantuan modal yang telah diberikan.

Bagi kita, dapat saja pemahaman seperti ini diadopsi demi kemaslahatan dan keadilan dalam pendistribusian harta di antara sesama. Yang kaya tidak didhalimi yang miskin dapat ditolong. Atau setidaknya pemahaman ini membuka cakrawala berfikir. Ternyata masih banyak alternatif yang juga sulit untuk dibuktikan kekeliruannya.

Tentunya dengan keterbatasan penulis yang kurang memadai telah dan akan terdapat kekurangan dan kekeliruan. Meskipun penulis telah berusaha agar gagasan ini tidak ada yang tercecer dan keliru. Atas semua itu saran, koreksi dari pembaca sangat diharapkan. Akhirnya…wallahu’alam.[]

DAFTAR RUJUKAN
Al-Ghazali, al-Mustasfa min Ulumu  al-Hadith, juz. I, Muassasah ar-Risalah, Libanon: 1998
‘Abid al-Jabiri, Takwim al-‘Aql  al-Arabi. Markaz Dirasah al-Wihdah al-Arabiyah, Bairut, 1989.
Al-Syatiby, al-Muafaqah fi ushuli al-Syar’ai, juz. II (Kairo: Mustafa Muhammad, tt)
Al-Syayuthi, al-Asbah wa-al-nadhair fi al-Furu’, al-Dar al-fikr, Libanon, 1995.
Hasbi Umar, Nalar Fiqh Kontemporer, GP Press. Jakarta: 2007.
Kaki Lima, formulasi Nalar fiqh: Tela’ah Kaidah dan Fiqh Konseptual, Khalisa, Surabaya, 2005.
Muhammad Syahrur, Prinsip-Prinsip Dasar Hermenuetika Al-Qur’an Kontemporer, Terj. Sahiron Syamsyuddin, eL-SAQ PRESS. Yogyakarta: 2004.
Muhammad Syahrur, Metodologi Fiqh Islam Kontemporer, eLSAQ. Yogyakarta: 2004.
Muhammada Syahrur, Prinsip dan Dasar Hermenuetika Hukum Islam Kontemorer, eLSAQ , Yogyakarta: 2007
Richard E Palmer, Hermeneutika: Teori Baru Mengenai Interpretasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2005.  

Iskandar | Staf pengajar pada STAIN Malikussaleh Lhokseumawe.
Ketua Himpunan Mahasiswa Pascasarjana Aceh Yogyakarta (HIMPASAY).

Kamis, 19 Mei 2011

PENDIDIKAN ISLAM: ALTERNATIF FILTERISASI GLOBALISASI (Suatu Upaya Membumikan Syari’ah di Aceh)


PENDIDIKAN ISLAM:  ALTERNATIF FILTERISASI GLOBALISASI
(Suatu Upaya Membumikan Syari’ah di Aceh)
Oleh:
Suadi Zainal  dan Yuswardi Syukri Reubee

Abstract
Syari’ah (Islamic law) has formalized about eight years ago in Aceh but do not have a significant impact on the Acehnese’ behavior changes consistent with Islamic values. One of the main obstacles is globalization. Thus we need other alternative in order to implement Islamic law more effective for Acehnese, it is Islamic education. It’s expected can filter globalization. Intended education is not merely in the form of Islamic education institutions, such as pesantren and madrasah today which substance is less Islamic, but Islamic education is education based on Islamic value of the universality. This is realized through the education system reform and review the scope of Islamic studies

.
Keywords: Islamic Education, Islamic Law, and Globalizatio

Pendahuluan
Formalisasi Syari’at Islam  di Aceh hampir mencapai usia delapan tahun,  terhitung 15 Maret 2002 (1 Muharram 1423 H), namun  belum memberikan pengaruh yang signifikan terhadap perubahan kehidupan  masyarakat Aceh, kecuali hanya dalam  tatacara berbusana, banyak wanita yang keluar rumah menutup kepala, tetapi hanya sebagian  kecil dari mereka yang menutup aurat,  penulisan nama kantor/lembaga dengan  huruf  Arab[1]. Kondisi Aceh tidak jauh berbeda dengan era sebelum syari’at Islam diformal-legalkan sebagai hukum resmi daerah. Kesenjangan sosial masih sangat  tinggi, korupsi meraja-lela dari tingkat pejabat hingga tingkat rakyat[2], kolusi dan nepotisme dianggap wajar, perampokan, pemerkosaan dan perzinahan, penyalahguna narkoba dan sabu-sabu  masih sering mengisi berita di media massa. Bahkan ada aknum  Wilayatul Hisbah di Kota Langsa yang terjurumus kepada pemerkosaan terhadap tahanan wanita yang diduka berkhalwat.
Berdasarkan  uraian realita di atas nampaknya cita-cita masyarakat Aceh bernostalgia kepada masa Serambi Mekkah agak sulit diwujudkan melalui formalisasi syari’at, apalagi  bercita-cita menjadikan Aceh sebagai  Madinah al-Fadhillah seperti yang pernah diimpikan al-Farabi, di mana orang –orang tinggal bersama di dalam sebuah kota semuanya hidup bahagia, tidak ada kezhaliman, semua orang hidup berkecukupan dan  berpenghasilan halal, semua orang mempunyai kesadaran untuk bertindak sesuai dengan syari’at, jujur, adil, amanah, optimis, tolong-menolong, dan lain-lain.
Fenomena syari’at Islam di Aceh sebagaimana dideskripsikan di atas tentu sangat berkaitan dengan perkembangan globalisasi yang telah membawa dampak negatif terhadap pengikisan dan pemusnahan  ideologi,  norma-norma, dan nilai sosial budaya masyarakat Aceh yang berkharakteristik islami. Di mana hal ini  pada kejayaannya dijadikan sebagai landasan ideal untuk bertindak dalam segala aspek kehidupan., sehingga muncul kalimat-kalimat yang konstruktif terhadap pembentukan perilaku masyarakat , seperti; “hukum dengon adat lagee zat dengan sipheut”, “gadeoh aneukmeupat jeurat gadeoh adat hana pat mita”. (hukum Islam dengan adat budaya seperti zat dengan sifatnya tak dapat dipisahkan, hilang/mati anak ada kubur tetapi hilang adat tidak tahu mau cari kemana[3].
Ali Hasyimi menjelaskan bahwa makna yang tersirat dalam kalimat tersebut adalah “Islam dan rakyat Aceh ibarat darah dengan daging. Hal itu berlaku dalam segala bidang kehidupan; politik, ekonomi, keuangan, sosial budaya, dan tata susila”. Kemudian kalimat yang kedua menurut Junus Melalatoa “mengisyaratkan bahwa adat merupakan pedoman yang sifatnya abstrak, yang seharusnya tersimpan dalam pikiran anggota masyarakat Aceh”[4]. Selanjutnya pribahasa Aceh memiliki nilai hidup sederhana,  “ngui meulaku tuboh pajoh meulaku harta” berpakain sesuai dengan badan dan makan sesuai dengan harta[5]).
Globalisasi tidak saja berdampak negatif terhadap kehidupan masyarakat, tetapi juga memiliki dampak positif, antaranya yang paling menonjol adalah percepatan memperoleh informasi melalui dunia televisi dan internet. Globalisasi erat kaitannya dengan modernisasi dan sekulerisasi, sehinngga orang “anti Barat” memaknainya westernisasi yang berlebel “Three in One” yang menjadi tantangan besar bagi berlakunya Syari’at Islam di Aceh. Mereka sudah sedang menyusup ke dalam otak masyarakat Aceh, ia menyerang melalui semua aspek kehidupan, budaya, ekonomi, politik dan pendidikan. Saya pastikan tidak ada orang Aceh yang lepas dari pengaruh tiga hal tersebut, sekalipun ulama besar. Namun tentu tidak semua masyarakat Aceh menjadi crisis identity akibat hal tersebut, bahkan mungkin lebih memperjelas dirinya sebagai orang Aceh yang bercitra islami dengan cara memanfaatkan globalisasi, modernisasi dan sekulerisasi.

Globalisasi vs Norma Lokal Aceh
Globalisasi merupakan sebuah gagasan yang banyak diperbincangkan. Secara umum era globalisasi ditandai dengan kemajuan di bidang teknologi komunikasi, transportasi dan informasi yang sedemikian cepat. Kemajuan di bidang ini membuat segala kejadian di negara yang jauh dapat diketahui oleh masyarakat di negara lainnya saat itu juga, sementara jarak tempuh yang sedemikian jauh dapat dijangkau dalam waktu yang singkat sehingga dunia ini menjadi seperti sebuah kampung yang kecil (Ahmed, 1990: 1). Giddens[6] mendefinisikan globalisasi sebagai proses transformsi ruang dan waktu, menghilangkan batas territorial dan meniadakan estimasi waktu, dunia menjadi kecil dan konsep nation state mulai memudar. Globalisasi merombak hidup kita secara besar – besaran. Ia berasal dari Barat, namun bukan berarti sekedar dominasi Barat terhadap yang lain; tetapi juga sebaliknya,[7] namun yang kuat tentunya mendominasi yang lemah. Selanjutnya menurut Huntington[8] globalisai merupakan proses universalisasi peradaban, konsep-konsep moralitas masyarakat di belahan dunia tidak jauh berbeda, tentang apa yang benar dan apa yang salah.
Norma lokal Aceh adalah adat/hukum adat. Adat kemudian diartikan tradisi, bukan kebiasaan (habits). Tradisi merumuskan semacam kebenaran yang menjadi kerangka tindakan individu dan kelompok yang sebagian besarnya tidak dipertanyakan (Giddens, 2001: 39), kecuali oleh orang-orang yang menamakan dirinya modern, mendewakan rasionalitas, bagi mereka tradisi adalah sisi gelap modernitas. Hal-hal yang bersifat tradisional dipandang sebagai masalah/penghambat kemajuan yang mesti dilenyapkan. Semua bersifat tradisional harus digantikan dengan modern jika ingin maju. Standard maju dan tertinggal pun diciptakan sedemikian rupa, yang mengarahkan kita kepada kemajuan yang dicapai oleh Barat. Kemajuan diukur dari pesatnya perkembangan teknologi dan pembangunan industri.
Berbicara adat/tradisi Aceh sebagai norma masyarakat tentu tidak dapat dipisahkan dari nilai-nilai Islam, jadi penghapusan sebagian tradisi hampir bisa dipastikan merupakan pengikisan nilai-nilai Islam itu sendiri, yang pada akhirnya merusak tatanan kehidupan sosial masyarakat Aceh yang sudah mapan. Sebagai contoh yang sangat konkrit adalah konsep demokrasi Barat yang telah menjalar ke gampong-gampong bahkan tingkat keluarga, kebenaran tidak lagi beasaskan Islam tetapi atas mayoritas suara, Beras Miskin (Raskin) dijatahkan bagi orang miskin, namun dibagi juga untuk orang kaya, dengan alasan hasil musyawarah masyarakat. Hal ini sudah dipandang sebagai tindakan benar, walaupun sebenarnya pada orang kaya lah terdapat hak (harta) orang miskin yang diberikan lewat sadakah dan zakat, bukan yang kaya mengambil hak dari orang miskin.
Selain itu, khalwat juga masih sangat fenomenal di Aceh walaupun sudah ada penegak hukum syari’at yang mengawasi hal tersebut. Perilaku khalwat tersebut tentu tidak terlepas dari pengaruh tayangan televisi[9] yang mempertontonkan perilaku seperti itu, yang kemudian dianggap benar oleh kalangan remaja. Pelukan dengan lawan jenis bukan muhrim di atas kendaraan yang melintasi tempat-tempat umum misalnya, dianggap hal yang wajar, mereka tidak merasa malu dan masyarakat yang melihatnya pun tidak berbuat apa-apa, seakan-akan masyarakat menyetujuinya dengan adanya pemahaman tentang Hak Asasi Manusia (HAM) yang dikampayekan oleh Barat. Bahkan sebagian keluarga sudah merasa bangga jika anak gadisnya dikunjungi oleh pemuda dan dibawa jalan-jalan walaupun jika dilihat dari usianya belum memasuki usia pernikahan. Dalam kontek Aceh tempo dulu hal seperti ini menjadi aib bagi keluarga, dan masyarakat lingkungan memberikan kontrol sosial terhadap perilaku seperti ini. Dalam konsep menjaga anak atau genarasi dari perilaku penyimpang, dulu masyarakat Aceh masih berpegang pada motto “anakku juga anakmu”.
Atas dasar realita di atas dapat disimpulkan bahwa globalisasi bagi masyarakat masih banyak membawa dampak negatifnya ketimbang dampak positif. Di era globalisasi Aceh belum bisa mewarnai dunia lain, Aceh masih diwarnai oleh dunia lain. Orang Aceh yang dikenal memiliki mental berani dan pantang menyerah di medan perang belum tangguh untuk berperang budaya, melawan budaya Barat. Dalam hal ini konsep Giddens yang mengatakan globalisasi juga dapat bermakna negara lain dapat mendominasi Barat, belum berlaku di Aceh.
Untuk menghidupkan kembali dan memelihara tradisi Aceh dari ancaman globalisasi yang menghambat revitalisasi syari’at di Aceh perlu dicari jalan alternatif lain, di samping melalui politik (secara srtuktural pemerintah) tetap dimaksimalkan. Salah satunya alternatif adalah melalui pendidikan islam.

Pendidikan Islam
Secara umum pendidikan pada hakekatnya merupakan suatu upaya mewariskan dan menanamkan nilai, yang akan menjadi penolong dan penuntun umat manusia dalam menjalani kehidupan, guna memperbaiki nasib dan peradabannya. Tanpa pendidikan, manusia  tidak berbeda dengan dengan makhluk lainnya di muka bumi, tidak berbeda manusia zaman dulu dengan generasi manusia sekarang. Secra ekstrim  dapat dikatakan, bahwa maju mundurnya atau baik buruknya peradaban suatu masyarakat, suatu bangsa, sangat ditentukan oleh bagaimana pendidikan yang diterapkan pada masyarakat dan bangsa tersebut.
Dalam Islam, secara bahasa pendidikan dikenal dengan kata “tarbiyah”, yang berasal dari bahasa Arab, kata kerjanya “rabba” yang mendidik. Kata yang sering melekat dengan tarbiyah adalah “ta’lim”, yang bermakna pengajaran. Sehingga dalam lembaga dikenal istilah Tarbiyah wa Ta’lim. Pendidikan Islam dalam bahasa Arab disebut Tarbiyah Islamiyah[10]. Sedangkan menurut istilah Pendidikan Islam adalah sebuah proses yang dilakukan untuk menciptakan manusia-manusia yang seutuhnya; beriman dan bertaqwa serta mampu mewujudkan eksistensinya sebagai khalifah Allah  di muka bumi, yang berdasarkan ajaran al-Qur’an dan al-Sunnah. Selanjutnya menurut Arifin[11] bahwa pendidikan Islam berupaya untuk mengembangkan semua aspek kehidupan manusia yang meliputi spritual, intelektual, imajinasi, keilmiyahan; baik individu maupun kelompok, dan memberi dorongan bagi dinamika aspek-aspek tersebut menuju kebaikan dan pencapaian kesempurnaan hidup baik dalam hubungannya dengan al-Khaliq, sesama manusia, maupun dengan alam.
Pendidikan Islam memiliki azas long life education, artinya ilmu dituntut sejak dari ayunan sampai ke liang kubur, sebagaimana dipesankan oleh nabi “Uthlubul ‘ilmi minal mahdi ilallahdi”, dan inklusif, tanpa dibatasi pada ilmu aqidah saja tetapi juga ilmu umum lainnya yang bersifat duniawi. Hal ini dapat dimaknai dari hadis nabi “Uthlubil ‘ilmi walau bisshiin” (tuntutlah ilmu walau ke negeri cina). Sebagaimana juga disampaikan Syafii Ma’arif, bahwa pada masa nabi pendidikan Islam pada awalnya lebih tertuju pada pemberdayaan aqidah. Nabi mengupayakan menempatkan pendidikan sebagai aspek yang sangat penting, dengan menggalakkan umat melalui wahyu agar mencari ilmu sebanyak-banyaknya, dan setinggi-tingginya. Masjid-masjid, pada periode awal kenabian dijadikan sebagai pusat pengembangan ilmu dan pendidikan, sekalipun masih mengkhususkan pada menghafal al-Qur’an, belajar hadis, dan sirah Nabi. Sementara disiplin-disiplin lain seperti filsafat, ilmu kimia, matematika, dan astrologi kemudian juga berkembang, namun tidak dimasukkan dalam kurikulum formal. Semua disiplin ini diajarkan atas dasar kesadaran orang tua untuk mencarikan guru demi kemajuan anaknya.[12] Inti kurikulum madrasah hanya terpusat pada al-Qur’an, hadis, fiqh, dan Bahasa Arab. Sementara ilmu lainnya seperti filsafat, kimia, astronomi, dan matematika, dipelajari secara individual dan dalam lingkungan yang terbatas. Bahkan disiplin-disiplin ini ditempatkan di bawah payung disiplin lain seperti ilmu perobatan.
Berdasarkan uraian singkat di atas, dapat dipahami bahwa fungsi dan tujuan pendidikan Islam tidak sekedar menciptakan manusia untuk berdaya dalam mengarungi kehidupan yang berkecukupan materil. sebagaimana fungsi pendidikan pada umumnya. Fungsi dan tujuan pendidikan Islam harus memberdayakan atau berusaha menolong manusia untuk mencapai kebahagian dunia dan akhirat. Oleh karenanya, maka konsep dasarnya bertujuan untuk melahirkan manusia-manusia yang bermutu yang akan mengelola dan memanfaatkan bumi ini dengan ilmu pengetahuan untuk kebahagiannya, yang dilandasai pada konsep spritual untuk mencapai kebahagian akhiratnya.



Pendidikan Islam di Aceh Dewasa ini
Salah satu keistimewaan yang dimiliki Aceh adalah keistimewaan dalam bidang pendidikan. Secara yuridis pemerintah pusat telah memberikan hak istimewa tersebut kepada Aceh melalui Undang-Undang No. 18 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Daerah istimewa Aceh sebagai provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Belum cukup dengan itu pemerintah pusat kembali mempertegaskan lagi dengan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA). Dalam kedua undang-undang tersebut Aceh dinyatakan mendapat hak istimewa di bidang pendidikan.
Dalam UUPA pasal 215 ayat 1 disebutkan “Pendidikan yang diselenggarakan di Aceh merupakan satu kesatuan dengan sistem pendidikan nasional yang disesuaikan dengan karakteristik, potensi, dan kebutuhan masyarakat setempat”. Hal ini bermakna Aceh memungkinkan mengembangkan pendidikan formal sesuai dengan nilai-nilai religius dan sosiokultural masyarakatnya, sehingga pendidikan di Aceh mencapai tujuannya sesuai dengan tuntutan dari pendidikan Islam. Yang perlu dipikirkan adalah bagaimana bentuk dan strategi pelaksanaanya agar tidak terbentur dengan sistem pendidikan nasional.
Namun demikian sangat disayangkan peluang yuridis tersebut nampaknya belum dimanfaatkan oleh Pemerintah Aceh dalam mengelola pendidikan yang berfungsi sesuai dengan tuntutan Islam. Pelaksanan pendidikan di Aceh hingga saat ini masih sama dengan daerah lainnya di Indonesia. Pemahaman dikotomis antara pendidikan agama dan umum masih sangat kentara, konfigurasinya hanya memasukkan mata pelajaran agama pada pendidikan umum dan memasukkan mata pelajaran umum pada pendidikan agama. Kondisi ini tentu nilai-nilai agama belum mampu dilekatkan pada setiap mata pelajaran umum, sehingga orang pintar tidak ada jaminan tinggi akhlaknya, karena ilmu yang dia miliki tidak membawanya lebih dekat dengan Allah.
Maka jangan terkejut melihat perilaku masyarakat, baik muda maupun tua yang menyimpang dari agama, walaupun mereka sudah mendapat pendidikan karena biayanya murah, bahkan digratiskan. Bahkan sebagiannya tambah tinggi pendidikan bertambah sekuler pula pemikirannya, sehingga memandang agama hanya mengatur masalah individu denga Tuhannya, maka iapun shalat rajin, tetapi korupsi, kolusi, dan nepotisme pun tekun, pergaulan bebas, perzinahan dianggap wajar karena hanya interaksi  manusia dengan manusia untuk memenuhi kebutuhan biologisnya.
Untuk itu pelaksanaan pendidikan Islam yang memungkinkan pencapaian cita-cita Islam perlu dipikirkan kembali, pendidikan Islam yang selama ini dijalankan perlu didesain ulang. Pihak yang berwenang dan berkompenten perlu didesak untuk melakukan inovasi dan reformasi, tidak hanya yang bersangkutan dengan kurikulum dan perangkat manajemen, tetapi juga strategi, model dan taktik operasionalnya. Dengan demikian institusi-institusi pendidikan, baik formal maupun non formal lebih efektif dan efisien dalam proses islamisasi pendidikan di Aceh, sehingga memiliki nilai paedagogis, sosiologis dan kultural yang islami, yang kemudian menunjukkan perannya membina ummat manusia untuk memperoleh kebahagian dunia dan akhirat sesuai dengan tuntutan Islam, “Rabbana atina fiddunya hasanah wa filakhirati hasanah”.

Pendidikan Islam untuk Revitalisasi Syari’at Islam
Revitalisasi syari’at Islam di Aceh merupakan impian mayoritas masyarakat Aceh yang sudah lama tak kunjung nyata, sejak zaman penjajahan hingga zaman pencerahan, bahkan hingga sekarang ini yang dikenal dengan zaman damai oleh masyarakat Aceh. Jika pendidikan Islam mencapai tujuannya sebenarnya penerapan syari’at Islam tidak perlu diperdebatkan, karena syari’at sudah ada dalam setiap orang Aceh. Untuk mencapai tujuannya perlu dilakukan reformasi terhadap sistem pendidikan yang sesuai dengan nilai-nilai Islam. Berbicara sistem pendidikan berarti menyangkut dengan berbagai macam elemen yang berkaitan dengan pendidikan. Menurut Marimba elemen-elemen pendidikan adalah tujuan pendidikan, peserta didik, pendidik, alat/fasilitas pendidikan, dan lingkungan pendidikan.[13]
  1. Tujuan, tujuan pendidikan Islam adalah membentuk insan kamil, yang dalam pendidikan nasional diperjelaskan melalui Pasal 3 UU No. 20/2003 tentang Sisdiknas , pendidikan nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Menurut Ali Aljumbulati[14] pendidikan Islam memiliki dua tujuan, yaitu keagamaan dan keduniaan.  Tujuan keagamaan adalah mempertemukan diri pribadi dengan Tuhannya melalui kitab-kitab suci yang menjelaskan tentang hak dan kewajiban, sunnat dan yang fardhu bagi yang mukallaf. Sementara tujuan keduniaan ialah mempersiapkan anak didik menghadapi kehidupan masa depan dengan mengarahkan kepada pekerjaan yang berguna (pragmatis).
  2. Peserta didik, peserta didik merupakan individu yang memiliki potensi, sedang berkembang, butuh bimbingan dan berkemampuan untuk mandiri. Setiap peserta didik tentu memiliki potensi yang berbeda dengan yang lainnya, sehingga perlakuaan bimbingan pun tidak boleh disamaratakan. Kadang perlu perlakuan khusus terhadap anak didik tertentu. Dengan demikian tidak ada anak didik yang terbelakang setelah menerima pendidikan. Peserta didik dijadikan sebagai subyek pendidikan dan diperlakukan secara manusiawi.
  3. Pendidik, pendidik adalah orang yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan pendidikan dengan sasaran peserta didik. Pendidik harus berkepribadian mulia, taqwa, dan beriman kepada Allah. Pendidik tidak hanya mengajarkan ilmunya kepada anak didik, tetapi juga bertanggung jawab untuk memberi petunjuk kepada peserta didik dalam meniti kehidupan dengan membekalinya  etika dan akhlak yang mulia[15]. Untuk itu pendidik direkrut secara selektif dengan mempertimbangkan kemampuan dan sifat-sifat mulia yang dimilikinya. Dengan demikian, pendidik tidak bisa direkrut hanya melalui ujian tulis melainkan juga perlu dilakukan interview bahkan jika memungkinkan perlu diselidiki asal-usulnya. 
4.      Alat pendidikan, alat pendidikan adalah usaha–usaha atau perbuatan–perbuatan sipendidik yang ditujukan untuk melaksanakan tugas mendidik.[16] Dalam hal ini, alat pendidikan harus searah dengan al Quran dan sunnah.
5.      Linkungan pendidikan, lingkungan pendidikan adalah tempat belansungnya pendidikan yang meliputi keluarga, sekolah, dan masyarakat. Dengan demikia, pembentukan kepribadian anak bukan saja tanggung jawab lembaga pendidikan tetapi keluarga dan masyarakat lingkungan turut bertanggujwab terhadap anak. Mengingat pendidikan utama adalah kelurga maka untuk mencapai tujuan pendidikan islam, kehidupan keluarga harus berkarakteristik islami, karena anggota keluarga merupakan panutan awal bagi sianak. Begitu juga halnya dengan lingkungan masyrakat, pemerintah bertanggung jawab untuk menciptakan masyarakat yang islami, karena sianak ketika meranjak dewasa lebih banyak berinteraksi dengan lingkungan masyarakat ketimbang keluarga dan sekolah. Dengan demikian pengaruh lingkungan masyarakat  dominan mempengaruhi pembetukan kepribadian sianak.
Untuk mendukung tercapainya tujuan pendidikan tersebut, maka penyelenggaraan pendidikan Islam di sekolah mestinya bukan sekadar transfer of knowledge atau to change mental attitude, akan tetapi lebih diarahkan pada cita-cita ideal keislaman sebagai rahmat bagi seluruh alam (rahmatan lil alamin) untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akherat, sesuai dengan tuntutan Al-Quran dan Sunnah Nabi Muhammad SAW.
Selain pembenahan system pendidikan sebagaimana diutarakan di atas perlu disepakati ruang lingkup studi islam atau obyek pengkajian ilmu-ilmu keislaman, yang selama ini adanya klasifikasi ilmu agama dan umum. Menurut Iman Suprayogo[17] studi islam harus dibangun berdasarkan universalitas ajaran islam yang digambarkan sebagai sebuah pohon yang kokoh akarnya dan rindang. Akar yang kokoh adalah bahasa Arab, logika dan filsafat, ilmu alam dan sosial. Batangnya adalah ilmu-ilmu yang terkait dan bersumber langsung dari al Quran dan hadis. Sementara dahan dan ranting adalam ilmu modern seperti kedokteran, psikologi, sosiologi, ekonomi, politik, dan lain sebagainya. Dengan demikian, keilmuan tersebut dapat difahami secara utuh dan adanya integrasi ilmu agama dan umum, sehingga tidak terjadi dikotomi.


Penutup
Berdasrkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa alternative untuk memfilter dampak negative dari globalisasi dalam upaya menerapkan syriat Islam bagi masyarakat Aceh yang lebih efektif adalah melalui pendidikan islam . pendidikan islam yang dimaksud bukan sekedar  pendidikan Islam dalam bentuk lembaga, seperti pesantren dan madrasah dewasa ini, yang substansinya kurang islmai, tetapi pendidikan yang berazaskan nilai universalitas keislaman yang  dapat menghilangkan dikotomi keilmuan.
Hal ini, dapat diwujudkan melalui pendidikan Islam dan peninjauan kembali ruang lingkup studi  keislaman.  Untuk itu, diharapkan kepada pihak berwenang seperti pemerintah melaulaui majelis pendidikan daerah dan dinas pendidikan, pemimpin dayah serta ilmuan diperguruan tinggi agar bermusyawarh untuk menyatukan persepsi dalammelakukan reformasi pendidikan Islam guna mendukung  pelaksanaan syariat islam secara menyeluru. 









DAFTAR PUSTAKA



Melalatoa, Junus, ddk, Aceh Kembali ke Masa Depan, Jakarta: IKJ Press, 2005

Giddens, Anthony, Beyond Left and Right; Tarian Ideologi Alternatif di atas Pusara Sosialisme dan Kapitalisme, Yogjakarta: IRCISoD, 2003
Giddens, Anthony, Runway World; Bagaimana Globalisasi Merombak kehidupan Kita, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2001
Huntington, Samuel P., Benturan Antar Peradaban, Yogjakarta: Qalam, 2002

Darajat, Zakiah, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 2004

Arifin, Kapita Selekta Pendidikan, Jakarta: Bina Aksara, 1999

Ma’arif, Syafii,  Keutuhan dan Kebersamaan dalam Pengelolaan Pendidikan Sebagai Wawasan Pendidikan Muhammadiyah, Makalah pada Rakernas Pendidikan Muhammadiyah di Pondok Gede, Jakarta, 1996

Hasbullah, Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan, Jakarta: PT. Grafindo Persada, 2003

Al jumbulati, Ali, Perbandingan Pendidikan Islam Jakarta: PT Renika Cipta, 1994

Muhammad Fahmi, Etika Pendidik dalam Pendidikan Islam Telaah atas pemikiran Al-Gazali, http://hidayah/ilayya.blogspot.com/2009

Purwanto, M. Ngalim, Ilmu Pendidikan Teoretis dan Praktis, Bandung: Remaja RosdaKarya, 2007

Suprayogo, Imam, Tarbiyah Ulil al Bab: Dzikir, Fikr, dan Amal Shaleh, Malang: UIN, 2004



[1] Huruf Arab bukan Bahasa Arab, di kalangan masyarakat Aceh dikenal dengan bahasa Arab Jawi, yang jika dilihat orang Arab dia tidak bisa membaca dan tidak tahu arti.

[2] Banyak bantuan yang diberikan kepada rakyat tidak dimanfaatkan sesuai ketentuan, beras untuk orang miskin dibagi sama rata  antara orang miskin dengan yang kaya atas dasar musyawarah bersama, bantuan dana produktif bergulir tidak dikembalikan, orang yang tidak berhak mendapat bantuan berupaya mempengaruhi pihak donator untuk mendapat bantuan sehingga orang yang berhak menerima trsingkirkan.
[3] Kalimat ini memiliki makna yang dalam, dalam menegakkan adat (nilai dan norma-morma) yang berlaku  tidak pilih kasih, jika anak sendiri yang melanggar maka harus dihukum walaupun hukumannya mati, seperti yang dilakukan oleh Raja Iskandar Muda terhadap anaknya yang melakukan perzinahan, beliau menyiram timah kedalam kerongkongan anaknnya hingga dia mati.

[4] Junus Melalatoa, ddk, Aceh Kembali ke Masa Depan (Jakarta: IKJ Press, 2005), h. 31

[5] Kalimat ini bermakna agar masyarakat berperfomen tidak berlebihan, disesuaikan dengan kemampuan material yang dimiliki dan tidak perlu iri terhadap orang lain.
[6] Giddens, Anthony, Beyond Left and Right; Tarian Ideologi Alternatif di atas Pusara Sosialisme dan Kapitalisme, (Yogjakarta: IRCISoD, 2003), h. 18
[7]Anthony Giddens, Runway World; Bagaimana Globalisasi Merombak kehidupan Kita, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2001), h. xvi
[8]Samuel P. Huntington, Benturan Antar Peradaban, (Yogjakarta: Qalam, 2002), h. 75

[9] Televisi bagi anak-anak dan remaja dewasa ini merupakan main class, sementara pendidikan di sekolah mejadi second class, artinya penddikan televisi lebih melekat dalam dirinya ketimbang pendidikan sekolah. Pendidikan sekolah tentu membosannkan bagi anak-anak, sedangkan pendidikan televisi merupakan hal yang menyenangkan.
[10] Zakiah Darajat, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 2004), h. 25

[11] Arifin, Kapita Selekta Pendidikan, (Jakarta: Bina Aksara, 1999), h. 15
[12]Syafii Ma’arif,  Keutuhan dan Kebersamaan dalam Pengelolaan Pendidikan Sebagai Wawasan Pendidikan Muhammadiyah, (Makalah pada Rakernas Pendidikan Muhammadiyah di Pondok Gede, Jakarta, 1996), h. 2
[13] Hasbullah, Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan, (Jakarta: PT. Grafindo Persada, 2003), h. 123

[14] Ali Al jumbulati, Perbandingan Pendidikan Islam (Jakarta: PT Renika Cipta, 1994), h. 37-38

[15] Muhammad Fahmi, Etika Pendidik dalam Pendidikan Islam (Telaah atas pemikiran Al-Gazali), (http://hidayah/ilayya.blogspot.com/2009)

[16] M.Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoretis dan Praktis, (Bandung: Remaja RosdaKarya, 2007), h.176

[17] Imam Suprayogo, Tarbiyah Ulil al Bab: Dzikir, Fikr, dan Amal Shaleh, (Malang: UIN, 2004), h. 14